Sajak HO CHI MINH:
BULAN PURNAMA
Dalam penjara tiada arak dan tiada bunga,
Bagaimana gerangan menikmati malam sejelita ini.
Kudekati jendela tampak bulan purnama,
Rembulan memandang penyair liwat celah jeruji.
*****
Diterjemahkan dari YU ZHONG RI JI, Catatan Harian Dalam Penjara, halaman 42, terbitan NHA XUAT BAN THE GIOI, Hanoi, 1994.
Ho Chi Minh menulis sajak pakai huruf lama bahasa Tionghoa.
Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.
24 Oktober 2009
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (3)
PEMBUKA CATATAN HARIAN
Bukanlah kebiasaanku membaca puisi,
Berbuat apa gerangan kala terkurung dalam bui.
Kubersajak sekedar menghalau hari-hari berkepanjangan,
Menyenandungkannya seraya menanti hari pembebasan.
*****
Keterangan:
Diterjemahkan dari YU ZHONG RI JI, Catatan Harian Dalam Penjara, halaman 18, terbitan NHA XUAT BAN THE GIOI, Hanoi, 1994.
Ho Chi Minh menulis sajak pakai huruf lama bahasa Tionghoa.
PEMBUKA CATATAN HARIAN
Bukanlah kebiasaanku membaca puisi,
Berbuat apa gerangan kala terkurung dalam bui.
Kubersajak sekedar menghalau hari-hari berkepanjangan,
Menyenandungkannya seraya menanti hari pembebasan.
*****
Keterangan:
Diterjemahkan dari YU ZHONG RI JI, Catatan Harian Dalam Penjara, halaman 18, terbitan NHA XUAT BAN THE GIOI, Hanoi, 1994.
Ho Chi Minh menulis sajak pakai huruf lama bahasa Tionghoa.
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (4)
PAGI HARI
I
Setiap pagi matahari terbit menembus dinding,
Sinarnya meliwati gerbang, tapi gerbang tetap tertutup.
Dalam penjara pagar mengurung dalam kegelapan,
Tapi kita tahu, di luar matahari terbit bersinar terang.
II
Di kala terbangun, setiap orang mulai memburu
Jam delapan lonceng berbunyi tanda makan pagi.
Ayoh ! Mari kita makan memuaskan hati,
Karena semua kita menderita, waktu yang baik akan datang dengan pasti.
PAGI HARI
I
Setiap pagi matahari terbit menembus dinding,
Sinarnya meliwati gerbang, tapi gerbang tetap tertutup.
Dalam penjara pagar mengurung dalam kegelapan,
Tapi kita tahu, di luar matahari terbit bersinar terang.
II
Di kala terbangun, setiap orang mulai memburu
Jam delapan lonceng berbunyi tanda makan pagi.
Ayoh ! Mari kita makan memuaskan hati,
Karena semua kita menderita, waktu yang baik akan datang dengan pasti.
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (5)
Badan dalam kurungan,
Fikiran bebas di luar.
Ingin berbuat soal besar,
Fikiran harus bebas dan luas.
Badan dalam kurungan,
Fikiran bebas di luar.
Ingin berbuat soal besar,
Fikiran harus bebas dan luas.
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (6)
MALAM HARI
Makan malam usai mentari tenggelam di Barat,
Di mana-mana kumandang dendang dan musik rakyat.
Bilik tahanan bui Qing Xi yang suram tersembunyi,
Mendadak berobah jadi ruang Lembaga Sarjana Seni.
MALAM HARI
Makan malam usai mentari tenggelam di Barat,
Di mana-mana kumandang dendang dan musik rakyat.
Bilik tahanan bui Qing Xi yang suram tersembunyi,
Mendadak berobah jadi ruang Lembaga Sarjana Seni.
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (7)
NASIHAT BAGI DIRI SENDIRI
Tanpa kedinginan dan penderitaan musim salju,
Tiadalah nyaman dan menyenangkannya musim semi.
Musibah telah menggembleng dan menguatkan diriku,
Merobah fikiranku jadi kuat bagai besi.
NASIHAT BAGI DIRI SENDIRI
Tanpa kedinginan dan penderitaan musim salju,
Tiadalah nyaman dan menyenangkannya musim semi.
Musibah telah menggembleng dan menguatkan diriku,
Merobah fikiranku jadi kuat bagai besi.
TERJEMAHAN
Sajak HO CHI MINH (8)
TEMPAAN DIRI.
Tanpa dingin siksaan musim salju,
Mana ada nyaman gemilang musim semi.
Musibah menggembleng membajakan aku,
Menempa fikiranku bak jadi besi.
TEMPAAN DIRI.
Tanpa dingin siksaan musim salju,
Mana ada nyaman gemilang musim semi.
Musibah menggembleng membajakan aku,
Menempa fikiranku bak jadi besi.
TERJEMAHAN
Mao Zedong:
BELASUNGKAWA BUAT KAWAN AIDIT
Pejuang Komunisme Internasional.
Menurut Irama: Bu Suan Zi. (1)
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang,
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang. (2)
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang,
Malahan gugur menjelang musim semi datang.
Yang akan gugur, gugurlah pasti,
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati ?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri,
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi.
Desember 1965.
Keterangan dari penterjemah:
1. Diantara sajak-sajak penyair dinasti Tang, Luo Binwang (640-684?),
terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu
yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut
berirama Bu Suan Zi.
2. Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga
ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim
salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim
rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar,
mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan
datangnya musim semi.
1). Terjemahan Nurdiana. Dari buku Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, terbitan Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, halaman 310.
2). Di antara sajak-sajak Luo Binwang (640-687 ?), penyair dinasti Tang, terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut berirama Bu Suan Zi.
3). Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar, mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan datangnya musim semi.
**********
卜算子•悼国际共产主义战士艾地同志
疏枝立寒窗,
笑在百花前。
奈何笑容难为久,
春来反凋残。
残固不堪残,
何须自寻烦?
花落自有花开日,
蓄芳待来年。
1965年12月
BELASUNGKAWA BUAT KAWAN AIDIT
Pejuang Komunisme Internasional.
Menurut Irama: Bu Suan Zi. (1)
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang,
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang. (2)
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang,
Malahan gugur menjelang musim semi datang.
Yang akan gugur, gugurlah pasti,
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati ?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri,
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi.
Desember 1965.
Keterangan dari penterjemah:
1. Diantara sajak-sajak penyair dinasti Tang, Luo Binwang (640-684?),
terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu
yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut
berirama Bu Suan Zi.
2. Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga
ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim
salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim
rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar,
mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan
datangnya musim semi.
1). Terjemahan Nurdiana. Dari buku Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, terbitan Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, halaman 310.
2). Di antara sajak-sajak Luo Binwang (640-687 ?), penyair dinasti Tang, terdapat sajak berjudul Bu Suan Zi. Semenjak itu, sajak bentuk ini, yaitu yang dengan irama dan susunan jumlah aksara 5, 5, 7, 5; 5, 5, 7, 5, disebut berirama Bu Suan Zi.
3). Penyair menggambarkan mekarnya Bunga Mei, Meratia Praecox. Bunga ini, yang berwarna merah muda atau kuning, selalu mekar di puncak musim salju, dalam keadaan pohonnya tak berdaun karena seluruhnya gugur di musim rontok, menjelang musim dingin. Dalam keadaan belum adanya bunga yang mekar, mekarnya Bunga Mei mendahului bunga-bunga lainnya juga menjadi pertanda akan datangnya musim semi.
**********
卜算子•悼国际共产主义战士艾地同志
疏枝立寒窗,
笑在百花前。
奈何笑容难为久,
春来反凋残。
残固不堪残,
何须自寻烦?
花落自有花开日,
蓄芳待来年。
1965年12月
EKONOMI DUNIA
Suar Suroso:
KRISIS MONETER DUNIA KAPITALIS
DAN HARAPAN PADA SOSIALISME
(1)
Dunia kapitalis dilanda krisis. Bermula dari krisis moneter Wallstreet. Pemerintah George W. Bush terpaksa mengucurkan 700 miliar dollar untuk menalangi lembaga-lembaga moneter yang bangkrut itu. Saham-saham di bursa saham New York, London, Frankfurt, Tokio, Seoul, Singapura, Jakarta, Sydney pada anjlok. Demikian pula di Hongkong, dan Shanghai. Para pemegang saham terperanjat, terpana. Dalam sekejap, kekayaan lenyap. Hantu pengangguran mengancam kaum pekerja. Kehidupan rumah tangga yang sudah terbiasa dengan budaya kredit “besar pasak dari tiang” jadi porak poranda. Malapetaka melanda dunia kapitalis.
Para pengamat ekonomi dunia menyuarakan kengerian akan krisis dunia moneter ini. Banyak yang teringat akan kebenaran tulisan Marx, bahwa krisis ekonomi tak terelakkan dalam sistim kapitalisme. Tidak sedikit yang menyatakan “neo liberalisme telah gagal”. Harian Pravda Russia menulis: “the way of life Amerika sudah mati”. Di Indonesia kian garang hujatan pada “maffia Berkeley” yang mendalangi gagasan perekonomian rezim orba. Bahkan mengutuk para pengagum teori “pasar bebas”. Dan setelah hampir sepertiga abad di bawah rezim orba mulut dirajut, yaitu mempropagandakan sosialisme dilarang, kembali muncul suara mendambakan sosialisme.
Yang terjadi adalah krisis moneter yang lebih dahsyat dari “depresi besar” tahun 1929, yang menimbulkan Perang Dunia kedua. Lebih hebat dari krisis moneter melanda Asia 1997. Inilah krisis moneter terhebat dalam sejarah kapitalisme. Direktur IMF Dominique Strauss-Kahn mengungkapkan, ketakutan dunia internasional terhadap kebangkrutan sejumlah lembaga keuangan besar yang berpusat di AS dan Eropa telah mendorong ekonomi ke arah kehancuran. Michel Camdessus, mantan Direktur Pelaksana IMF, menyatakan bahwa akar krisis adalah minimnya peraturan yang mengontrol sektor keuangan AS. Pemimpin negara Kelompok 20 (G-20), dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, menyayangkan sikap AS yang sangat tidak tanggap terhadap masalah kredit macet yang melilit beberapa lembaga keuangan berskala internasional. Komite Pembangunan Bank Dunia dan IMF, dalam komunikenya menyatakan: "Negara berkembang dan dalam peralihan dapat mengalami konsekuensi serius dari setiap pengetatan kredit berkepanjangan atau kemunduran global yang berkelanjutan." Perdana Menteri Inggeris Gordon Brown mendesak Eropa agar meniru rencana yang dia siapkan, yaitu menerapkan paket penyelamatan ekonomi. Dan mengatakan: "Bagi Eropa, taruhannya sangat tinggi. Sekarang ini adalah ujian bagi semua orang. Tidak ada satu negara pun yang bisa lepas dari keadaan seperti ini”.
Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas". Robert Skidelsky, anggota Majelis Tinggi Inggris, guru besar emeritus ekonomi politik pada Warwick University menyatakan: “Ambruknya Lehman Brothers dan terpaksa dijualnya Merrill Lynch, dua di antara nama-nama paling besar di dunia keuangan, menandai berakhirnya suatu era”. Selandjutnya dia menulis dalam The Washington Post 19-10-2008: “ We all hope that the new Nobel laureate Paul Krugman is right that the rescue operations taken in the past couple of weeks may be enough to stem the financial crisis. But the wreckage may be with us for a long time to come.” “Semua kita mengharap bahwa pemenang hadiah Nobel yang baru Paul Krugman adalah benar bahwa operasi-operasi penyelamatan yang dijalankan beberapa minggu ini adalah cukup untuk membendung krisis moneter ini. Tapi kerusakan akibatnya akan tinggal bersama kita untuk waktu yang panjang”. Kolumnis Philip Stephens menulis dalam The Financial Times 9-10-2008, bahwa “Pelajaran besar yang diperoleh adalah bahwa Barat tidak bisa lagi memandang tatatertib dunia menurut kemauannya. Selama lebih dari dua abad AS dan Eropa sudah memaksakan hegemoninya di bidang ekonomi, politik dan kultural. Zaman itu sedang berakhir”.
Dengan judul The End of Laissez-faire, Sri-Edi Swasono menulis dalam Jawa Pos: “Krisis keuangan AS timbul karena kerakusan kapitalisme. Kredit awut-awutan untuk melampiaskan kekayaan, suatu affluency selera mewah masyarakat AS, saat ini melaju dan mengakibatkan kredit berkembang tanpa kehati-hatian”. Menurut Christianto Wibisono: “Dengan krisis keuangan yang dipicu oleh ‘tsunami Wall Street’, AS juga kehilangan status dan citra sebagai model kisah sukses kejayaan ekonomi. Malah menjadi biang keladi dan sumber keterpurukan ekonomi dunia. Selanjutnya dia menulis: “Dana-dana surplus RRT, Jepang, Singapura, dan Timur Tengah yang dikelola dan dimiliki oleh negara dalam wadah yang sekarang disebut Sovereign Wealth Fund (SWF) membuktikan bahwa otoriterisme bersih, bisa lebih efektif mengakumulasi modal ketimbang liberalisme Wall Street yang tidak terkontrol hingga bursa terjun bebas ke jurang keambrukan.”
Rudi Hartono menulis: “krisis yang terjadi sekarang ini berikut tindakan-tindakan politik yang diambil pemerintah AS telah melahirkan sejumlah kesimpulan; pertama, krisis ini telah berdampak luas dan susah dipulihkan dalam waktu singkat, melahirkan ketidakpercayaan terhadap ‘kemanjuran model ekonomi Anglo-Amerika’ atau telah menggugurkan keyakinan orang terhadap ‘neoliberalisme’ dan ‘Washington consensus’. Boleh jadi, system ini sudah tamat riwayatnya; dan krisis ini telah memerosotkan wibawa dan hegemoni AS dalam geopolitik global”.
Antara News menyiarkan tulisan Akhmad Kusaeni berjudul Neo-Libealisme Telah Mati. Antara lain dikemukakannya: “Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati! Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".
Dengan judul “Tiongkok menjadi kiblat”, Ryan Kiryanto menulis dalam Suara Pembaruan: “Keangkuhan ekonom dan ahli keuangan AS menjadi bahan olok-olok analis Eropa. Pasar bebas yang menjadi ‘agama ekonomi’ kapitalis AS, berakhir sudah. Dana talangan sama saja dengan subsidi. Padahal, selama ini para ekonom AS sangat ‘tabu’ dengan yang namanya subsidi”. Selanjutnya Ryan Kiryanto menulis: “tanpa harus berpikir terlalu lama, inilah saatnya untuk melakukan reformasi terhadap cara pandang terhadap kedigdayaan AS. Indonesia yang begitu besar, memiliki potensi sumber daya alam (SDA) tak terbatas serta letak geografis yang cukup strategis sehingga sebetulnya tak harus bergantung kepada AS lagi”. “Lalu, adakah negara yang bisa dijadikan sandaran? Ada! Kini harapan ada pada Tiongkok”.
Disamping kembali mencuatnya nama Marx karena teori ekonominya yang ternyata benar dalam hal terjadinya krisis ekonomi dalam sistim kapitalisme, tidak sedikit penulis mendambakan sosialisme sebagai jalan keluar dari kebangkrutan kapitalisme.
Kini kian mengalir berita duka, memaparkan nestapa menimpa rakyat banyak: perusahaan-perusahaan tutup usaha, kehilangan lapangan kerja jadi oenganggur, kekayaan lenyap karena anjloknya saham, keluarga yang rukun damai
Sampai kapan ini semua ?
(Bersambung)
KRISIS MONETER DUNIA KAPITALIS
DAN HARAPAN PADA SOSIALISME
(1)
Dunia kapitalis dilanda krisis. Bermula dari krisis moneter Wallstreet. Pemerintah George W. Bush terpaksa mengucurkan 700 miliar dollar untuk menalangi lembaga-lembaga moneter yang bangkrut itu. Saham-saham di bursa saham New York, London, Frankfurt, Tokio, Seoul, Singapura, Jakarta, Sydney pada anjlok. Demikian pula di Hongkong, dan Shanghai. Para pemegang saham terperanjat, terpana. Dalam sekejap, kekayaan lenyap. Hantu pengangguran mengancam kaum pekerja. Kehidupan rumah tangga yang sudah terbiasa dengan budaya kredit “besar pasak dari tiang” jadi porak poranda. Malapetaka melanda dunia kapitalis.
Para pengamat ekonomi dunia menyuarakan kengerian akan krisis dunia moneter ini. Banyak yang teringat akan kebenaran tulisan Marx, bahwa krisis ekonomi tak terelakkan dalam sistim kapitalisme. Tidak sedikit yang menyatakan “neo liberalisme telah gagal”. Harian Pravda Russia menulis: “the way of life Amerika sudah mati”. Di Indonesia kian garang hujatan pada “maffia Berkeley” yang mendalangi gagasan perekonomian rezim orba. Bahkan mengutuk para pengagum teori “pasar bebas”. Dan setelah hampir sepertiga abad di bawah rezim orba mulut dirajut, yaitu mempropagandakan sosialisme dilarang, kembali muncul suara mendambakan sosialisme.
Yang terjadi adalah krisis moneter yang lebih dahsyat dari “depresi besar” tahun 1929, yang menimbulkan Perang Dunia kedua. Lebih hebat dari krisis moneter melanda Asia 1997. Inilah krisis moneter terhebat dalam sejarah kapitalisme. Direktur IMF Dominique Strauss-Kahn mengungkapkan, ketakutan dunia internasional terhadap kebangkrutan sejumlah lembaga keuangan besar yang berpusat di AS dan Eropa telah mendorong ekonomi ke arah kehancuran. Michel Camdessus, mantan Direktur Pelaksana IMF, menyatakan bahwa akar krisis adalah minimnya peraturan yang mengontrol sektor keuangan AS. Pemimpin negara Kelompok 20 (G-20), dan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, menyayangkan sikap AS yang sangat tidak tanggap terhadap masalah kredit macet yang melilit beberapa lembaga keuangan berskala internasional. Komite Pembangunan Bank Dunia dan IMF, dalam komunikenya menyatakan: "Negara berkembang dan dalam peralihan dapat mengalami konsekuensi serius dari setiap pengetatan kredit berkepanjangan atau kemunduran global yang berkelanjutan." Perdana Menteri Inggeris Gordon Brown mendesak Eropa agar meniru rencana yang dia siapkan, yaitu menerapkan paket penyelamatan ekonomi. Dan mengatakan: "Bagi Eropa, taruhannya sangat tinggi. Sekarang ini adalah ujian bagi semua orang. Tidak ada satu negara pun yang bisa lepas dari keadaan seperti ini”.
Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas". Robert Skidelsky, anggota Majelis Tinggi Inggris, guru besar emeritus ekonomi politik pada Warwick University menyatakan: “Ambruknya Lehman Brothers dan terpaksa dijualnya Merrill Lynch, dua di antara nama-nama paling besar di dunia keuangan, menandai berakhirnya suatu era”. Selandjutnya dia menulis dalam The Washington Post 19-10-2008: “ We all hope that the new Nobel laureate Paul Krugman is right that the rescue operations taken in the past couple of weeks may be enough to stem the financial crisis. But the wreckage may be with us for a long time to come.” “Semua kita mengharap bahwa pemenang hadiah Nobel yang baru Paul Krugman adalah benar bahwa operasi-operasi penyelamatan yang dijalankan beberapa minggu ini adalah cukup untuk membendung krisis moneter ini. Tapi kerusakan akibatnya akan tinggal bersama kita untuk waktu yang panjang”. Kolumnis Philip Stephens menulis dalam The Financial Times 9-10-2008, bahwa “Pelajaran besar yang diperoleh adalah bahwa Barat tidak bisa lagi memandang tatatertib dunia menurut kemauannya. Selama lebih dari dua abad AS dan Eropa sudah memaksakan hegemoninya di bidang ekonomi, politik dan kultural. Zaman itu sedang berakhir”.
Dengan judul The End of Laissez-faire, Sri-Edi Swasono menulis dalam Jawa Pos: “Krisis keuangan AS timbul karena kerakusan kapitalisme. Kredit awut-awutan untuk melampiaskan kekayaan, suatu affluency selera mewah masyarakat AS, saat ini melaju dan mengakibatkan kredit berkembang tanpa kehati-hatian”. Menurut Christianto Wibisono: “Dengan krisis keuangan yang dipicu oleh ‘tsunami Wall Street’, AS juga kehilangan status dan citra sebagai model kisah sukses kejayaan ekonomi. Malah menjadi biang keladi dan sumber keterpurukan ekonomi dunia. Selanjutnya dia menulis: “Dana-dana surplus RRT, Jepang, Singapura, dan Timur Tengah yang dikelola dan dimiliki oleh negara dalam wadah yang sekarang disebut Sovereign Wealth Fund (SWF) membuktikan bahwa otoriterisme bersih, bisa lebih efektif mengakumulasi modal ketimbang liberalisme Wall Street yang tidak terkontrol hingga bursa terjun bebas ke jurang keambrukan.”
Rudi Hartono menulis: “krisis yang terjadi sekarang ini berikut tindakan-tindakan politik yang diambil pemerintah AS telah melahirkan sejumlah kesimpulan; pertama, krisis ini telah berdampak luas dan susah dipulihkan dalam waktu singkat, melahirkan ketidakpercayaan terhadap ‘kemanjuran model ekonomi Anglo-Amerika’ atau telah menggugurkan keyakinan orang terhadap ‘neoliberalisme’ dan ‘Washington consensus’. Boleh jadi, system ini sudah tamat riwayatnya; dan krisis ini telah memerosotkan wibawa dan hegemoni AS dalam geopolitik global”.
Antara News menyiarkan tulisan Akhmad Kusaeni berjudul Neo-Libealisme Telah Mati. Antara lain dikemukakannya: “Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati! Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".
Dengan judul “Tiongkok menjadi kiblat”, Ryan Kiryanto menulis dalam Suara Pembaruan: “Keangkuhan ekonom dan ahli keuangan AS menjadi bahan olok-olok analis Eropa. Pasar bebas yang menjadi ‘agama ekonomi’ kapitalis AS, berakhir sudah. Dana talangan sama saja dengan subsidi. Padahal, selama ini para ekonom AS sangat ‘tabu’ dengan yang namanya subsidi”. Selanjutnya Ryan Kiryanto menulis: “tanpa harus berpikir terlalu lama, inilah saatnya untuk melakukan reformasi terhadap cara pandang terhadap kedigdayaan AS. Indonesia yang begitu besar, memiliki potensi sumber daya alam (SDA) tak terbatas serta letak geografis yang cukup strategis sehingga sebetulnya tak harus bergantung kepada AS lagi”. “Lalu, adakah negara yang bisa dijadikan sandaran? Ada! Kini harapan ada pada Tiongkok”.
Disamping kembali mencuatnya nama Marx karena teori ekonominya yang ternyata benar dalam hal terjadinya krisis ekonomi dalam sistim kapitalisme, tidak sedikit penulis mendambakan sosialisme sebagai jalan keluar dari kebangkrutan kapitalisme.
Kini kian mengalir berita duka, memaparkan nestapa menimpa rakyat banyak: perusahaan-perusahaan tutup usaha, kehilangan lapangan kerja jadi oenganggur, kekayaan lenyap karena anjloknya saham, keluarga yang rukun damai
Sampai kapan ini semua ?
(Bersambung)
EKONOMI DUNIA
Suar Suroso:
KRISIS MONETER DUNIA KAPITALIS
DAN HARAPAN PADA SOSIALISME
(2)
Burjuasi sempat bergendang paha dengan robohnya Tembok Berlin. Disusul panji merah berpalu-arit terkulai, dikerek turun dari puncak istana Kremlin. Negara Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis brantakan. Demikian pula negara-negara sosialis di Eropa Timur. URSS lenyap dari peta politik dunia. Dalam pedato kenegaraannya awal 1992, Presiden George Bush memproklamirkan “Perang Dingin sudah usai, komunisme sudah mampus dan kita menang !”
Soeharto dan para punggawanya menepuk dada. Merasa rezim orba dibenarkan sejarah telah membasmi komunis dan Sukarnois. Telah melarang penyebaran ajaran sosialisme di seluruh Indonesia. Melarang buku-buku karya Pramudya dan semua karya pengarang Lekra tak pandang judul dan waktu terbit. Dan di bidang ekonomi, rezim orba dipandu oleh para pembela ekonomi pasar bebas dengan para ahlinya dari “mafia Berkeley”. Ekonomi terpimpin yang digagaskan Bung Karno dicampakkan. Indonesia pun menjadi negeri tergantung, terutama pada Amerika Serikat. Maka semuanya bermuara pada terpuruknya ekonomi Indonesia, dengan Suharto dinilai PBB sebagai koruptor nomor wahid di dunia.
Menyusul pedato Presiden Bush yang mengumumkan usainya Perang Dingin, para pembela tangguh kapitalisme, Francis Fukuyama tampil dengan karyanya “The End of History. Dinyatakannya liberalisme sudah mengungguli Marxisme. Dan menurut Samuel Huntington usainya Perang Dingin akan disusul oleh The Clash of Civilisations. Gagasan inilah yang membimbing politik luarnegeri Amerika Serikat yang main gunakan kekerasan senjata dimana-mana untuk merajai dunia. Dan neo-liberalisme pun marak merebak melanda dunia. Hasilnya adalah krisis moneter dunia sekarang ini.
Adalah wajar, dalam saat dunia dilanda krisis moneter kapitalis ini, orang menoleh ke sukses-sukses pembangunan ekonomi Tiongkok dan mendambakan sosialisme. Ada sementara kalangan yang merasa tidak sudi menyatakan Tiongkok itu melaksanakan sistim sosialis. Ada yang menyebut Tiongkok sebagai negeri dalam tahap permulaan kapitalisme. Bahkan tak sedikit yang menyatakan sudah menjadi negeri kapitalis. Prof. Cui Zhiyuan menyatakan Tiongkok adalah menjalankan sistim “kapitalisme Sungai Kuning”. Sebaliknya, Dr Han Hwie-Sung menulis, bahwa Tiongkok menjalankan sistim “sosialisme Sungai Kuning”.
Nama apa pun yang diberikan pada Tiongkok, tidaklah akan merobah kenyataan Tiongkok sesungguhnya. Tiongkok dewasa ini adalah negara besar yang tak bisa ditinggalkan dalam urusan-urusan dunia. Dalam usaha keras mengatasi krisis moneter dunia kapitalis sekarang, para tokoh negara-negara besar dunia menyuarakan keinginan mengikutkan-sertakan Tiongkok. Bahkan di Indonesia ada yang menulis, menjadikan Tiongkok sebagai kiblat untuk mengatasi krisis moneter sekarang ini. Ada pula yang menjuluki Tiongkok sebagai neo-IMF, karena kekuatan finansiilnya yang mengungguli semua negara di dunia.
Tiongkok memang sedang mempesona. Dunia mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok adalah menakjubkan dalam sejarah. Potensi ekonomi Tiongkok yang jadi mengagumkan, bukanlah hasil penumpukan riba atau buah spekulasi moneter bursa saham. Tapi adalah hasil cucuran keringat dan bantingan tulang rakyat pekerja. Inilah realisasi pemahaman ilmiah tentang hakekat dan tugas utama sosialisme yang diajukan Teori Deng Xiaoping. Yaitu meningkatkan produksi material besar-besaran liwat pembebasan dan pengembangan tenaga produktif. Ini bisa terjadi, karena Republik Rakyat Tiongkok menjalankan sistim politik kerjasama multi partai di bawah pimpinan Partai Komunis. Dalam Undang Undang Dasar Negara dinyatakan bahwa Tiongkok menjunjung tinggi empat prinsip dasar, yaitu pertama menempuh jalan sosialis, kedua melaksanakan diktatur demokrasi rakyat, ketiga dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok, dan keempat dengan ideologi pembimbing Marxisme-Leninisme, Fikiran Mao zedong, Teori Deng Xiaoping, Fikiran Penting Tiga Mewakili serta Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan. Dengan ideologi pembimbing inilah dilakukan pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok.
Teori Deng Xiaoping adalah pengembangan Marxisme berdasarkan pengalaman praktek sosialisme di Tiongkok. Sementara golongan yang sinis, memvulgerkan teori Deng Xiaoping dengan ungkapan “tak pandang kucing hitam atau kucing putih, asal menangkap tikus adalah kucing yang baik”, “menjadi kaya itu adalah mulia”. Sesungguhnya, teori Deng Xiaoping meliputi seperangkat gagasan penting dalam membimbing pembangunan sosialisme di Tiongkok. Adalah keliru orang-orang yang menyatakan Deng Xiaoping itu pragmatis. Pandangan dunianya adalah materialisme dialektis dan historis. Dengan tangguh dan gigih dia mengajarkan keharusan mencengkam ”bebaskan fikiran”, “cari kebenaran dari kenyataan”. “Cari kebenaran dari kenyataan” adalah inti dari materialisme dialektis. Dalam teori Deng Xiaoping, terdapat pemahaman bahwa Tiongkok sekarang berada dalam tahap pertama sosialisme, bahwa hakekat dan tugas utama sosialisme, adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga produktif, setapak demi setapak melenyapkan kemiskinan, bahwa miskin itu bukanlah sosialisme, bahwa rakyat Tiongkok yang besar jumlahnya itu tidak mungkin serentak menjadi kaya, oleh karena itu membolehkan sebagian jadi kaya duluan dengan cara yang sah dan membawa maju yang lainnya menyusul kaya; bahwa kecendrungan dunia sekarang adalah damai dan berkembang, dan untuk membebaskan Hongkong dan Macau serta penyatuan Taiwan liwat politik “satu negara dua sistim”. Justru di bawah pimpinan Deng Xiaoping lah berlangsung pembelaan serta penilaian atas Mao Zedong dan Fikiran Mao Zedong, dinyatakan bahwa Revolusi Besar Kebudayaan Proletar yang diprakarsai oleh Mao Zedong itu adalah salah secara teori dan tidak sesuai dengan kenyataan kongkrit Tiongkok hingga menimbulkan kemunduran dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok. Maka semboyan “perjuangan klas sebagai poros” dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar diganti dengan “pembangunan ekonomi sebagai tugas utama”, dilakukan reform dan dijalankan politik terbuka terhadap dunia luar.
Pengembangan Marxisme di Tiongkok tidak berhenti pada Teori Deng Xiaoping. Kongres ke-XVI dan keXVII Partai Komunis Tiongkok menampilkan rumusan-rumusan baru dalam ideologi pembimbingnya. Yaitu dengan Fikiran Penting Tiga Mewakili, yang berarti Partai haruslah mewakili tenaga peroduktif yang maju, mewakili orientasi kebudayaan nasional yang maju, dan mewakili kepentingan rakyat terbanyak. Kemudian disusul lagi dengan ideologi pembimbing Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan serta menempatkan rakyat sebagai yang utama, gagasan membangun masyarakat yang cukup sejahtera dan harmonis. Dalam politik luarnegeri juga diajukan gagasan membela perdamaian dan membangun dunia yang harmonis. Pengalaman membangun sosialisme memperkaya teori yang sudah ada. Dengan demikian Marxisme terus menerus berkembang maju.
Bagi Indonesia, membangun sosialisme belumlah menjadi acara dewasa ini. Jangankan membangun sosialisme, berbicara saja tentang sosialisme sudah dilarang selama hampir sepertiga abad oleh rezim orba. Oleh karena itu generasi muda yang lahir atau dibesarkan dibawah kekuasaan rezim orba adalah dibutakan mengenai masalah sosialisme. Dengan timbulnya krisis moneter dunia kapitalis, terbukalah mata orang banyak bahwa kapitalisme bukanlah satu-satunya sistim ekonomi yang ada. Disamping kapitalisme, ada sistim ekonomi lainnya, yaitu sosialisme. Walaupun kini ada sejumlah negeri di dunia yang menjalankan sistim sosialis seperti Tiongkok, Vietnam, Kuba, Republik Rakyat Demokrasi Korea, diatas segala-galanya kita tidak boleh menjiplak apa yang terjadi di negeri lain.
Sesungguhnya, dalam sejarah modern Indonesia, masalah sosialisme bukanlah soal yang baru. Boleh dikatakan, semua tokoh pergerakan nasional gandrung akan dan mendambakan sosialisme. Mulai dari Pak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Darsono, Semaun, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Mohammad Hatta, Amir Sjarifoeddin, Roeslan Abdoelgani semuanya becita-citakan sosialisme. Lebih-lebih lagi Bung Karno. Bahkan Soeharto pun ingin membangun sosialisme religieus di Indonesia.
Dengan dibantainya semua penganut cita-cita sosialisme di Indonesia oleh rezim orba di bawah Soeharto, maka generasi yang lahir dan dibesarkan di bawah kekuasaan rezim orba jadi buta akan sosialisme. Dengan Keputusan MPRS No XXV tahun 1967, ilmu sosialisme dinyatakn terlarang di Indonesia. Betapa tragisnya bangsa kita dengan pembodohan jahiliyah dibawah kekuasaan orba ini ! Karena sosialisme adalah ilmu, ia haruslah dipelajari sebagai ilmu. Dan ilmu tak dapat dibendung penyebarannya, karena akan selalu dicari oleh mereka yang membutuhkannya.
Indonesia tidak perlu, dan jangan sekali-kali menjiplak negeri lain. Dalam pemahaman tentang ajaran mengenai sosialisme, cukup banyak bisa dipelajari dari karya-karya Bung Karno. Mulai dari tulisan Nasionalisme Islamisme dan Marxisme, Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, Mencapai Indonesia Merdeka, Batu Ujian Sejarah dan banyak lainnya dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Dan pedato-pedato Bung Karno mulai dari Lahirnya Pancasila serta pedato-pedato di tahun enampuluhan sampai saat wafatnya beliau dalam tahanan rezim Suharto, sungguh kaya dengan semangat dan cita-cita sosialisme. Dan ajaran penting Bung Karno Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah, haruslah ditegakkan dalam fikiran generasi muda..
Sukses-sukses yang dicapai dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok serta kemajuan pembangunan di Vietnam, Kuba dan Republik Rakyat Demokrasi Korea kian meyakinkan benarnya harapan pada sosialisme. Ditambah lagi dengan kemenangan rakyat Nepal di bawah pimpinan Partai Komunis Nepal (Maois) menggulingkan kekuasaan feodal otokratis, mendirikan Republik Demokratis Federal Nepal. Dan dengan dipelopori Venezuela di bawah pimpinan Presiden Chavez, gerakan mendambakan sosialisme kian berkobar di Amerika Latin. Bersama-sama dengan ketangguhan Vietnam Sosialis, Republik Rakyat Demokrasi Korea serta Kuba, gerakan sosialisme dunia kian memberi harapan.
Prestasi pelaksanaan tugas utama sosialisme, yaitu besar-besaran meningkatkan produksi material liwat pembebasan dan pengembangan tenaga produktif didemonstrasikan di Tiongkok dengan terbangunnya bendungan dan pembangkit tenaga listrik air raksasa terbesar di dunia di Tiga Ngarai Sungai Yangtse, pembangunan jalan kereta-api Xinjiang-Tibet yang tertinggi di dunia dari permukaan laut, pembangunan jembatan terpanjang di dunia menyeberangi Teluk Hangzhou, terbangunnya jaringan jalan-jalan raya umum di seluruh Tiongkok, berhasilnya Tiongkok dengan cekatan mengatasi musibah gempa dahsyat tingkat 8 skala richter menimpa provinsi Sichuan yang mengorbankan 70.000 penduduk, mampunya Tiongkok mengorbitkan pesawat ruang angkasa mengitari bulan, suksesnya penerbangan antariksa tiga orang dalam pesawat Shenzhou 7, suksesnya penyelenggaraan Olimpiade musim panas dan Olimpiade orang cacat 2008 di Beijing.
Tiongkok kini memang mempesona. Lebih indah dari mekarnya bunga Mei di puncak musim salju, karya-karya raksasa rakyat pekerja Tiongkok ini akan mengilhami seniman dan seniwati berkarya menggubah puisi, novel, simfoni, balet, lukisan, patung dan sendra-tari, menyenandungkan jelitanya hidup membangun sosialisme !!!
******
21-10-2008.
KRISIS MONETER DUNIA KAPITALIS
DAN HARAPAN PADA SOSIALISME
(2)
Burjuasi sempat bergendang paha dengan robohnya Tembok Berlin. Disusul panji merah berpalu-arit terkulai, dikerek turun dari puncak istana Kremlin. Negara Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis brantakan. Demikian pula negara-negara sosialis di Eropa Timur. URSS lenyap dari peta politik dunia. Dalam pedato kenegaraannya awal 1992, Presiden George Bush memproklamirkan “Perang Dingin sudah usai, komunisme sudah mampus dan kita menang !”
Soeharto dan para punggawanya menepuk dada. Merasa rezim orba dibenarkan sejarah telah membasmi komunis dan Sukarnois. Telah melarang penyebaran ajaran sosialisme di seluruh Indonesia. Melarang buku-buku karya Pramudya dan semua karya pengarang Lekra tak pandang judul dan waktu terbit. Dan di bidang ekonomi, rezim orba dipandu oleh para pembela ekonomi pasar bebas dengan para ahlinya dari “mafia Berkeley”. Ekonomi terpimpin yang digagaskan Bung Karno dicampakkan. Indonesia pun menjadi negeri tergantung, terutama pada Amerika Serikat. Maka semuanya bermuara pada terpuruknya ekonomi Indonesia, dengan Suharto dinilai PBB sebagai koruptor nomor wahid di dunia.
Menyusul pedato Presiden Bush yang mengumumkan usainya Perang Dingin, para pembela tangguh kapitalisme, Francis Fukuyama tampil dengan karyanya “The End of History. Dinyatakannya liberalisme sudah mengungguli Marxisme. Dan menurut Samuel Huntington usainya Perang Dingin akan disusul oleh The Clash of Civilisations. Gagasan inilah yang membimbing politik luarnegeri Amerika Serikat yang main gunakan kekerasan senjata dimana-mana untuk merajai dunia. Dan neo-liberalisme pun marak merebak melanda dunia. Hasilnya adalah krisis moneter dunia sekarang ini.
Adalah wajar, dalam saat dunia dilanda krisis moneter kapitalis ini, orang menoleh ke sukses-sukses pembangunan ekonomi Tiongkok dan mendambakan sosialisme. Ada sementara kalangan yang merasa tidak sudi menyatakan Tiongkok itu melaksanakan sistim sosialis. Ada yang menyebut Tiongkok sebagai negeri dalam tahap permulaan kapitalisme. Bahkan tak sedikit yang menyatakan sudah menjadi negeri kapitalis. Prof. Cui Zhiyuan menyatakan Tiongkok adalah menjalankan sistim “kapitalisme Sungai Kuning”. Sebaliknya, Dr Han Hwie-Sung menulis, bahwa Tiongkok menjalankan sistim “sosialisme Sungai Kuning”.
Nama apa pun yang diberikan pada Tiongkok, tidaklah akan merobah kenyataan Tiongkok sesungguhnya. Tiongkok dewasa ini adalah negara besar yang tak bisa ditinggalkan dalam urusan-urusan dunia. Dalam usaha keras mengatasi krisis moneter dunia kapitalis sekarang, para tokoh negara-negara besar dunia menyuarakan keinginan mengikutkan-sertakan Tiongkok. Bahkan di Indonesia ada yang menulis, menjadikan Tiongkok sebagai kiblat untuk mengatasi krisis moneter sekarang ini. Ada pula yang menjuluki Tiongkok sebagai neo-IMF, karena kekuatan finansiilnya yang mengungguli semua negara di dunia.
Tiongkok memang sedang mempesona. Dunia mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok adalah menakjubkan dalam sejarah. Potensi ekonomi Tiongkok yang jadi mengagumkan, bukanlah hasil penumpukan riba atau buah spekulasi moneter bursa saham. Tapi adalah hasil cucuran keringat dan bantingan tulang rakyat pekerja. Inilah realisasi pemahaman ilmiah tentang hakekat dan tugas utama sosialisme yang diajukan Teori Deng Xiaoping. Yaitu meningkatkan produksi material besar-besaran liwat pembebasan dan pengembangan tenaga produktif. Ini bisa terjadi, karena Republik Rakyat Tiongkok menjalankan sistim politik kerjasama multi partai di bawah pimpinan Partai Komunis. Dalam Undang Undang Dasar Negara dinyatakan bahwa Tiongkok menjunjung tinggi empat prinsip dasar, yaitu pertama menempuh jalan sosialis, kedua melaksanakan diktatur demokrasi rakyat, ketiga dibawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok, dan keempat dengan ideologi pembimbing Marxisme-Leninisme, Fikiran Mao zedong, Teori Deng Xiaoping, Fikiran Penting Tiga Mewakili serta Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan. Dengan ideologi pembimbing inilah dilakukan pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok.
Teori Deng Xiaoping adalah pengembangan Marxisme berdasarkan pengalaman praktek sosialisme di Tiongkok. Sementara golongan yang sinis, memvulgerkan teori Deng Xiaoping dengan ungkapan “tak pandang kucing hitam atau kucing putih, asal menangkap tikus adalah kucing yang baik”, “menjadi kaya itu adalah mulia”. Sesungguhnya, teori Deng Xiaoping meliputi seperangkat gagasan penting dalam membimbing pembangunan sosialisme di Tiongkok. Adalah keliru orang-orang yang menyatakan Deng Xiaoping itu pragmatis. Pandangan dunianya adalah materialisme dialektis dan historis. Dengan tangguh dan gigih dia mengajarkan keharusan mencengkam ”bebaskan fikiran”, “cari kebenaran dari kenyataan”. “Cari kebenaran dari kenyataan” adalah inti dari materialisme dialektis. Dalam teori Deng Xiaoping, terdapat pemahaman bahwa Tiongkok sekarang berada dalam tahap pertama sosialisme, bahwa hakekat dan tugas utama sosialisme, adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga produktif, setapak demi setapak melenyapkan kemiskinan, bahwa miskin itu bukanlah sosialisme, bahwa rakyat Tiongkok yang besar jumlahnya itu tidak mungkin serentak menjadi kaya, oleh karena itu membolehkan sebagian jadi kaya duluan dengan cara yang sah dan membawa maju yang lainnya menyusul kaya; bahwa kecendrungan dunia sekarang adalah damai dan berkembang, dan untuk membebaskan Hongkong dan Macau serta penyatuan Taiwan liwat politik “satu negara dua sistim”. Justru di bawah pimpinan Deng Xiaoping lah berlangsung pembelaan serta penilaian atas Mao Zedong dan Fikiran Mao Zedong, dinyatakan bahwa Revolusi Besar Kebudayaan Proletar yang diprakarsai oleh Mao Zedong itu adalah salah secara teori dan tidak sesuai dengan kenyataan kongkrit Tiongkok hingga menimbulkan kemunduran dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok. Maka semboyan “perjuangan klas sebagai poros” dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar diganti dengan “pembangunan ekonomi sebagai tugas utama”, dilakukan reform dan dijalankan politik terbuka terhadap dunia luar.
Pengembangan Marxisme di Tiongkok tidak berhenti pada Teori Deng Xiaoping. Kongres ke-XVI dan keXVII Partai Komunis Tiongkok menampilkan rumusan-rumusan baru dalam ideologi pembimbingnya. Yaitu dengan Fikiran Penting Tiga Mewakili, yang berarti Partai haruslah mewakili tenaga peroduktif yang maju, mewakili orientasi kebudayaan nasional yang maju, dan mewakili kepentingan rakyat terbanyak. Kemudian disusul lagi dengan ideologi pembimbing Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan serta menempatkan rakyat sebagai yang utama, gagasan membangun masyarakat yang cukup sejahtera dan harmonis. Dalam politik luarnegeri juga diajukan gagasan membela perdamaian dan membangun dunia yang harmonis. Pengalaman membangun sosialisme memperkaya teori yang sudah ada. Dengan demikian Marxisme terus menerus berkembang maju.
Bagi Indonesia, membangun sosialisme belumlah menjadi acara dewasa ini. Jangankan membangun sosialisme, berbicara saja tentang sosialisme sudah dilarang selama hampir sepertiga abad oleh rezim orba. Oleh karena itu generasi muda yang lahir atau dibesarkan dibawah kekuasaan rezim orba adalah dibutakan mengenai masalah sosialisme. Dengan timbulnya krisis moneter dunia kapitalis, terbukalah mata orang banyak bahwa kapitalisme bukanlah satu-satunya sistim ekonomi yang ada. Disamping kapitalisme, ada sistim ekonomi lainnya, yaitu sosialisme. Walaupun kini ada sejumlah negeri di dunia yang menjalankan sistim sosialis seperti Tiongkok, Vietnam, Kuba, Republik Rakyat Demokrasi Korea, diatas segala-galanya kita tidak boleh menjiplak apa yang terjadi di negeri lain.
Sesungguhnya, dalam sejarah modern Indonesia, masalah sosialisme bukanlah soal yang baru. Boleh dikatakan, semua tokoh pergerakan nasional gandrung akan dan mendambakan sosialisme. Mulai dari Pak Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Darsono, Semaun, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Mohammad Hatta, Amir Sjarifoeddin, Roeslan Abdoelgani semuanya becita-citakan sosialisme. Lebih-lebih lagi Bung Karno. Bahkan Soeharto pun ingin membangun sosialisme religieus di Indonesia.
Dengan dibantainya semua penganut cita-cita sosialisme di Indonesia oleh rezim orba di bawah Soeharto, maka generasi yang lahir dan dibesarkan di bawah kekuasaan rezim orba jadi buta akan sosialisme. Dengan Keputusan MPRS No XXV tahun 1967, ilmu sosialisme dinyatakn terlarang di Indonesia. Betapa tragisnya bangsa kita dengan pembodohan jahiliyah dibawah kekuasaan orba ini ! Karena sosialisme adalah ilmu, ia haruslah dipelajari sebagai ilmu. Dan ilmu tak dapat dibendung penyebarannya, karena akan selalu dicari oleh mereka yang membutuhkannya.
Indonesia tidak perlu, dan jangan sekali-kali menjiplak negeri lain. Dalam pemahaman tentang ajaran mengenai sosialisme, cukup banyak bisa dipelajari dari karya-karya Bung Karno. Mulai dari tulisan Nasionalisme Islamisme dan Marxisme, Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, Mencapai Indonesia Merdeka, Batu Ujian Sejarah dan banyak lainnya dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Dan pedato-pedato Bung Karno mulai dari Lahirnya Pancasila serta pedato-pedato di tahun enampuluhan sampai saat wafatnya beliau dalam tahanan rezim Suharto, sungguh kaya dengan semangat dan cita-cita sosialisme. Dan ajaran penting Bung Karno Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah, haruslah ditegakkan dalam fikiran generasi muda..
Sukses-sukses yang dicapai dalam pembangunan sosialisme di Tiongkok serta kemajuan pembangunan di Vietnam, Kuba dan Republik Rakyat Demokrasi Korea kian meyakinkan benarnya harapan pada sosialisme. Ditambah lagi dengan kemenangan rakyat Nepal di bawah pimpinan Partai Komunis Nepal (Maois) menggulingkan kekuasaan feodal otokratis, mendirikan Republik Demokratis Federal Nepal. Dan dengan dipelopori Venezuela di bawah pimpinan Presiden Chavez, gerakan mendambakan sosialisme kian berkobar di Amerika Latin. Bersama-sama dengan ketangguhan Vietnam Sosialis, Republik Rakyat Demokrasi Korea serta Kuba, gerakan sosialisme dunia kian memberi harapan.
Prestasi pelaksanaan tugas utama sosialisme, yaitu besar-besaran meningkatkan produksi material liwat pembebasan dan pengembangan tenaga produktif didemonstrasikan di Tiongkok dengan terbangunnya bendungan dan pembangkit tenaga listrik air raksasa terbesar di dunia di Tiga Ngarai Sungai Yangtse, pembangunan jalan kereta-api Xinjiang-Tibet yang tertinggi di dunia dari permukaan laut, pembangunan jembatan terpanjang di dunia menyeberangi Teluk Hangzhou, terbangunnya jaringan jalan-jalan raya umum di seluruh Tiongkok, berhasilnya Tiongkok dengan cekatan mengatasi musibah gempa dahsyat tingkat 8 skala richter menimpa provinsi Sichuan yang mengorbankan 70.000 penduduk, mampunya Tiongkok mengorbitkan pesawat ruang angkasa mengitari bulan, suksesnya penerbangan antariksa tiga orang dalam pesawat Shenzhou 7, suksesnya penyelenggaraan Olimpiade musim panas dan Olimpiade orang cacat 2008 di Beijing.
Tiongkok kini memang mempesona. Lebih indah dari mekarnya bunga Mei di puncak musim salju, karya-karya raksasa rakyat pekerja Tiongkok ini akan mengilhami seniman dan seniwati berkarya menggubah puisi, novel, simfoni, balet, lukisan, patung dan sendra-tari, menyenandungkan jelitanya hidup membangun sosialisme !!!
******
21-10-2008.
RESENSI BUKU
SUAR SUROSO:
IBARRURI PUTRI ALAM
HASTA MITRA berjasa lagi dengan menerbitkan buku IBARRURI PUTRI ALAM -- Putri Sulung D.N.Aidit. Dan Pak Joesoef Ishak serta Goenawan Mohamad menambah bobot buku ini dengan memberi Kata-Kata Pengantar.
Iba menulis otobiografinya secara “apa adanya”. Yang dipaparkannya adalah kisah hidupnya selama rentang waktu paroh kedua abad ke-XX dan tahun-tahun pertama abad ke-XXI. Saya terharu dan kagum akan penulisan Iba yang berdasarkan ingatannya itu. Sebab, sosok-sosok yang diungkapkannya adalah saya kenal secara pribadi. Mulai dari Bapa dan Ibunya, Paman-pamannya Murad suami isteri, Sobron suami isteri dan Asahan serta Akbar Mudigdio. Juga pribadi-pribadi lainnya seperti Bung Eska, Mbah Ramidjo, Bung Anwar Dharma, Pak Umar, Mas Bud (Budhiman Sudharsono), Warok, Eko Darminto, Tomas Sinuraya serta isteri, Drugov A.Y., Olga Cyecyotkina, Yakovliyev, komandan kompi wanita Birma A Miao, semua saya kenal baik. Dan peristiwa-peristiwa besar yang dilukiskannya, termasuk yang juga saya alami. Iba dan Ilya saya kenal semenjak mereka baru datang di Moskow.
Masa hidup Iba yang dipaparkan dalam roman biografis itu adalah mulai dari usainya Perang Dunia ke-II. Berlanjut dengan gelora pancaroba susul menyusul menimpa dunia. Dunia dilanda Perang Dingin. Indonesia berlumuran darah dengan pembantaian atas kaum komunis dan Sukarnois, berlangsung penggulingan Bung Karno. Terpukulnya PKI di tanah air melahirkan kekisruhan dahsyat di kalangan komunis Indonesia di luarnegeri. Berlangsung kontradiksi bahkan konflik antara Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis Tiongkok, kontradiksi paling hebat dalam sejarah gerakan komunis internasional. Vietnam dipanggang perang dengan seperempat juta pasukan Amerika dikerahkan membasmi komunis Vietnam. Tak kurang dari 23.000 pemuda Amerika korban dan lebih dari 2000 pesawat terbang AS musnah ditembak jatuh atau dihancurkan. Di Eropa, Tembok Berlin dirobohkan. Disusul bendera merah berpalu-arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. URSS lenyap dari peta politik dunia. Negara-negara sosialis Eropa Timur dan Tengah brantakan. Di Tiongkok bergelora Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Dalam masa yang penuh pergolakan inilah Iba hidup. Biografinya berselimut pencerminan suasana pergolakan ini. Iba bukan hanya pemantau pasif. Dia terlibat dan ikut merasakan akibatnya.
Itulah keistimewaan roman biografis ini. Iba menulis “apa adanya”. Tulisannya berbobot. Sebagai orang muda, romantikanya tidaklah cengeng. Tapi berbenang merah patriotisme. Cinta tanah air yang tak terbatas. Sekian dasawarsa terlunta-lunta diluar negeri, sampai akhirnya memegang paspor Perancis, tapi Iba tetap mengaku bangsa Indonesia, merindukan tanah-air, kampung halaman tercinta. Iba merindukan budaya bangsanya. Secara pengenalannya, Iba membandingkan peradaban Jawa, peradaban bangsanya dengan peradaban Barat. Kesempatan Iba mengenal Budhisme tidaklah melenyapkan pandangan materialisme yang dianutnya. Ini dibuktikan dengan analisanya terhadap keadaan sekarang dan masa depan Indonesia. Dengan tajam dan penuh perasaan Iba menulis: bangsa kita – bangsa yang begitu ramah, jenaka, murah senyum dan lapang dada, berhati lembut, dan yang kadang bersifat lugu, tapi cukup cerdas, berjiwa kreatif dan berani …. oh, bangsa yang pernah memiliki jiwa besar penakluk samudra, yang pernah dengan bangga memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia serta berani membelanya sampai titik darah penghabisan – aku tak percaya bangsa sedemikian ini akan terus-menerus membiarkan dirinya dihimpit beban-beban masa lalu, membiarkan bathinnya terkoyak-koyak…
Optimisme Iba tak hanya menyangkut masa depan bangsanya, Indonesia. Terhadap generasi muda yang sudah menjadi korban pembodohan jahiliyah yang dibina rezim orba, Iba mencatat bahwa betapapun mereka selama ini dikungkung, tetap mencari-cari ilmu pegangan demi perobahan sosial di Indonesia. Generasi muda Indonesia akan tampil dan maju membela Indonesia.
Membantah tuduhan bahwa PKI atheis, anti Tuhan dan anti agama, Iba menulis: “Orang-orang PKI, sepengetahuanku, terlalu sibuk, terlalu banyak urusan: melawan nekolim, memperjuangkan pembebasan Irian Jaya, melaksanakan UUPA/UUPBH, melakukan pendidikan dari mulai pembrantasan buta-huruf sampai membangun Universitas Rakyat, membangun penerbitan buku-buku marxis yang dianggap sangat kurang, urusan menyelenggarakan koran partai, masih harus melakukan pekerjaan sampai ke bawah-bawah dari mengurusi kehidupan sampai masalah kesehatan, olahraga, dari peningkatan produksi sampai kenaikan gaji (di kalangan kaum tani, buruh, nelayan) mengangkat dan mengembangkan kebudayaan serta kesenian rakyat .. Kalau kita sekarang melihat dan membaca barang-barang langka seperti dokumen-dokumen PKI ketika itu, pidato-pidato wakil-wakil partai di kongres-kongres partai, musuhnya PKI itu memang tidak sedikit, bahkan mungkin memang terlalu banyak. PKI ketika itu adalah sebuah partai politik yang sangat galak, semua mau di”ganyang”; olde-lah, nekolim-lah, Belanda-lah yang masih bercokol di Irian Jaya, Tengku Abdurrahman-lah yang menjadi antek nekolim, kapiotalis birokrat yang mencaplok hasil nasionalisasi yang dilakukan kaum buruh, OKB-OKB-lah (orang kaya baru), tuantanah yang anti-manipolis, tengkulak-lah, lintah darat, tukang ijon, bahkan sampai ke tikus-tikus dan hama-hama di pedesaan mau diganyang…. Tapi dalam “keserba-galakannya” itu, tunjukkanlah satu saja ucapan pemimpin PKI atau satu saja dokumen PKI yang mau “mengganyang” atau katakanlah mencela agama atau Tuhan”.
Iba tak ragu-ragu mengungkapkan segi-segi gelap sejarah Uni Sovyet. Walau pun itu bersumber dari mulut orang yang anti-Sovyet. Juga tak ragu-ragu memaparkan suka-duka dalam kehidupan selama di Uni Sovyet, termasuk sikap-sikap tak bersahabat dari sementara pejabat PKUS terhadap PKI. Tak ragu-ragu bahkan dengan tajam memaparkan suka-duka dalam kekisruhan yang menimpa orang-orang komunis Indonesia di luar negeri.
Sebaliknya, Iba mengangkat pujiannya terhadap sikap ramah dan bersahabat pemimpin-pemimpin Tiongkok terhadap PKI. Iba melukiskan sambutan hangat berupa undangan makan dari Deng Yingzhao isteri PM Zhou Enlai, pertemuan dengan Mao Zedong, juga dimuatnya sajak Mao Zedong, menyatakan belasungkawa atas wafatnya D.N.Aidit berjudul: BELASUNGKAWA BUAT KAWAN AIDIT, PEJUANG KOMUNISME INTERNASIONAL. Iba kagum akan kemajuan ilmu kedokteran Tiongkok.
Tak ada gading yang tak retak. Betapa pun baiknya isi roman biografis Iba ini, tentu juga ada kekurangannya. Sayang, Iba tak mengungkap segi-segi unggul kejayaan Uni Sovyet, dan sikap-saikap bersahabat rakyat Sovyet terhadap rakyat Indonesia yang semestinya juga dia kenal.
*********
2-11-2006.
IBARRURI PUTRI ALAM
HASTA MITRA berjasa lagi dengan menerbitkan buku IBARRURI PUTRI ALAM -- Putri Sulung D.N.Aidit. Dan Pak Joesoef Ishak serta Goenawan Mohamad menambah bobot buku ini dengan memberi Kata-Kata Pengantar.
Iba menulis otobiografinya secara “apa adanya”. Yang dipaparkannya adalah kisah hidupnya selama rentang waktu paroh kedua abad ke-XX dan tahun-tahun pertama abad ke-XXI. Saya terharu dan kagum akan penulisan Iba yang berdasarkan ingatannya itu. Sebab, sosok-sosok yang diungkapkannya adalah saya kenal secara pribadi. Mulai dari Bapa dan Ibunya, Paman-pamannya Murad suami isteri, Sobron suami isteri dan Asahan serta Akbar Mudigdio. Juga pribadi-pribadi lainnya seperti Bung Eska, Mbah Ramidjo, Bung Anwar Dharma, Pak Umar, Mas Bud (Budhiman Sudharsono), Warok, Eko Darminto, Tomas Sinuraya serta isteri, Drugov A.Y., Olga Cyecyotkina, Yakovliyev, komandan kompi wanita Birma A Miao, semua saya kenal baik. Dan peristiwa-peristiwa besar yang dilukiskannya, termasuk yang juga saya alami. Iba dan Ilya saya kenal semenjak mereka baru datang di Moskow.
Masa hidup Iba yang dipaparkan dalam roman biografis itu adalah mulai dari usainya Perang Dunia ke-II. Berlanjut dengan gelora pancaroba susul menyusul menimpa dunia. Dunia dilanda Perang Dingin. Indonesia berlumuran darah dengan pembantaian atas kaum komunis dan Sukarnois, berlangsung penggulingan Bung Karno. Terpukulnya PKI di tanah air melahirkan kekisruhan dahsyat di kalangan komunis Indonesia di luarnegeri. Berlangsung kontradiksi bahkan konflik antara Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis Tiongkok, kontradiksi paling hebat dalam sejarah gerakan komunis internasional. Vietnam dipanggang perang dengan seperempat juta pasukan Amerika dikerahkan membasmi komunis Vietnam. Tak kurang dari 23.000 pemuda Amerika korban dan lebih dari 2000 pesawat terbang AS musnah ditembak jatuh atau dihancurkan. Di Eropa, Tembok Berlin dirobohkan. Disusul bendera merah berpalu-arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. URSS lenyap dari peta politik dunia. Negara-negara sosialis Eropa Timur dan Tengah brantakan. Di Tiongkok bergelora Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Dalam masa yang penuh pergolakan inilah Iba hidup. Biografinya berselimut pencerminan suasana pergolakan ini. Iba bukan hanya pemantau pasif. Dia terlibat dan ikut merasakan akibatnya.
Itulah keistimewaan roman biografis ini. Iba menulis “apa adanya”. Tulisannya berbobot. Sebagai orang muda, romantikanya tidaklah cengeng. Tapi berbenang merah patriotisme. Cinta tanah air yang tak terbatas. Sekian dasawarsa terlunta-lunta diluar negeri, sampai akhirnya memegang paspor Perancis, tapi Iba tetap mengaku bangsa Indonesia, merindukan tanah-air, kampung halaman tercinta. Iba merindukan budaya bangsanya. Secara pengenalannya, Iba membandingkan peradaban Jawa, peradaban bangsanya dengan peradaban Barat. Kesempatan Iba mengenal Budhisme tidaklah melenyapkan pandangan materialisme yang dianutnya. Ini dibuktikan dengan analisanya terhadap keadaan sekarang dan masa depan Indonesia. Dengan tajam dan penuh perasaan Iba menulis: bangsa kita – bangsa yang begitu ramah, jenaka, murah senyum dan lapang dada, berhati lembut, dan yang kadang bersifat lugu, tapi cukup cerdas, berjiwa kreatif dan berani …. oh, bangsa yang pernah memiliki jiwa besar penakluk samudra, yang pernah dengan bangga memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia serta berani membelanya sampai titik darah penghabisan – aku tak percaya bangsa sedemikian ini akan terus-menerus membiarkan dirinya dihimpit beban-beban masa lalu, membiarkan bathinnya terkoyak-koyak…
Optimisme Iba tak hanya menyangkut masa depan bangsanya, Indonesia. Terhadap generasi muda yang sudah menjadi korban pembodohan jahiliyah yang dibina rezim orba, Iba mencatat bahwa betapapun mereka selama ini dikungkung, tetap mencari-cari ilmu pegangan demi perobahan sosial di Indonesia. Generasi muda Indonesia akan tampil dan maju membela Indonesia.
Membantah tuduhan bahwa PKI atheis, anti Tuhan dan anti agama, Iba menulis: “Orang-orang PKI, sepengetahuanku, terlalu sibuk, terlalu banyak urusan: melawan nekolim, memperjuangkan pembebasan Irian Jaya, melaksanakan UUPA/UUPBH, melakukan pendidikan dari mulai pembrantasan buta-huruf sampai membangun Universitas Rakyat, membangun penerbitan buku-buku marxis yang dianggap sangat kurang, urusan menyelenggarakan koran partai, masih harus melakukan pekerjaan sampai ke bawah-bawah dari mengurusi kehidupan sampai masalah kesehatan, olahraga, dari peningkatan produksi sampai kenaikan gaji (di kalangan kaum tani, buruh, nelayan) mengangkat dan mengembangkan kebudayaan serta kesenian rakyat .. Kalau kita sekarang melihat dan membaca barang-barang langka seperti dokumen-dokumen PKI ketika itu, pidato-pidato wakil-wakil partai di kongres-kongres partai, musuhnya PKI itu memang tidak sedikit, bahkan mungkin memang terlalu banyak. PKI ketika itu adalah sebuah partai politik yang sangat galak, semua mau di”ganyang”; olde-lah, nekolim-lah, Belanda-lah yang masih bercokol di Irian Jaya, Tengku Abdurrahman-lah yang menjadi antek nekolim, kapiotalis birokrat yang mencaplok hasil nasionalisasi yang dilakukan kaum buruh, OKB-OKB-lah (orang kaya baru), tuantanah yang anti-manipolis, tengkulak-lah, lintah darat, tukang ijon, bahkan sampai ke tikus-tikus dan hama-hama di pedesaan mau diganyang…. Tapi dalam “keserba-galakannya” itu, tunjukkanlah satu saja ucapan pemimpin PKI atau satu saja dokumen PKI yang mau “mengganyang” atau katakanlah mencela agama atau Tuhan”.
Iba tak ragu-ragu mengungkapkan segi-segi gelap sejarah Uni Sovyet. Walau pun itu bersumber dari mulut orang yang anti-Sovyet. Juga tak ragu-ragu memaparkan suka-duka dalam kehidupan selama di Uni Sovyet, termasuk sikap-sikap tak bersahabat dari sementara pejabat PKUS terhadap PKI. Tak ragu-ragu bahkan dengan tajam memaparkan suka-duka dalam kekisruhan yang menimpa orang-orang komunis Indonesia di luar negeri.
Sebaliknya, Iba mengangkat pujiannya terhadap sikap ramah dan bersahabat pemimpin-pemimpin Tiongkok terhadap PKI. Iba melukiskan sambutan hangat berupa undangan makan dari Deng Yingzhao isteri PM Zhou Enlai, pertemuan dengan Mao Zedong, juga dimuatnya sajak Mao Zedong, menyatakan belasungkawa atas wafatnya D.N.Aidit berjudul: BELASUNGKAWA BUAT KAWAN AIDIT, PEJUANG KOMUNISME INTERNASIONAL. Iba kagum akan kemajuan ilmu kedokteran Tiongkok.
Tak ada gading yang tak retak. Betapa pun baiknya isi roman biografis Iba ini, tentu juga ada kekurangannya. Sayang, Iba tak mengungkap segi-segi unggul kejayaan Uni Sovyet, dan sikap-saikap bersahabat rakyat Sovyet terhadap rakyat Indonesia yang semestinya juga dia kenal.
*********
2-11-2006.
KUMPULAN SAJAK
Nurdiana:
BERSAJAK KITA BERSAJAK.
Untuk Yanti, Bisai, Mawi,
Lusi dan Heri.
Puisi Yanti *) mengharu kalbu,
mengkaji Nusa tengah merana,
Bisai melambai**) ikut menyambut,
bersatuhati dengan sang miskin,
Mawie merintih bagai belibis***),
kampung terpandang kering kerontang,
penuh harapan Lusi optimis
musim semi pastilah datang !****)
Bersajak kita bersajak,
lawan penguasa berkulit badak,
memuja Nusa kampung halaman,
gigih melawan pembodohan,
bela budaya Nusantara,
khatulistiwa bukanlah gurun pasir,
betapa sengsara wanita jelita
dipasung berselubung karung.
Bersajak kita bersajak,
Bersajak kita berlawan,
Yanti, Bisai, Mawie dan Lusi,
tetap smangat bersama Heri,
gubah puisi menata kata,
kumandangkan Nusa Setengah Merdeka !!!****)
Keterangan:
*) Puisi Yanti Mirdayanti: Impian Awal Bulan Oktober.
**) Puisi Mawie: Pekik Belibis Itu Sayup Sayup Sampai.
***) Puisi Bisai: Kenyataan Sepanjang Tahun.
****) Komentar cekak-aos Lusi.
*****) Kumpulan Puisi Heri Latief: 50% Merdeka .
Yanti Mirdayanti:
IMPIAN AWAL BULAN OKTOBER
Septemberku telah berlalu.
Tak terasa Oktober mulai menyambutku
Aku terkantuk di rumah reyotku
Perutku kosong, bajuku rompeng
Ketika mataku terbuka
Aku telah bersayap lebar
Terbang di atas angkasa bumi Nusantara
Ketika kutatap Jawa
Tak kulihat lagi hijaunya tanah
Semua hutan di sana telah enyah
Sawah dan kolam tinggal setitik saja
Digantikan dengan semut manusia
Dan iringan mobil serta motor-motor kredit
Kuarahkan tatapanku ke Sumatera
Di sana hutan pun telah berubah
Menjadi kebun kelapa sawit yang seragam
Segera kukepakkan sayap ke arah Kalimantan
Hutan gambut pusat pernapasan Asia Tenggara
Oh, telah melelehkan air mataku
Merah pedih kedua mataku
Karena yang muncul dari hutan gambut ini
Hanya asap dan asap panas kekeringan
Kulanjutkan terbang ke Sulawesi
Kehijauan di sana pun makin menyempit
Lalu ke Irian Jaya nan jauh di sana
Oh, tanahnya telah bolong-bolong semua
Digali, dikeduk, dijarah, dijual
Tak lelah kukepak dan kukepak sayapku
Namun tiada lagi kehijauan yang menghibur mata
Bumi Nusantara tampak lelah tak berdaya
Lapar, berperut kosong
Seperti perutku ini
Seperti jutaan perut manusia
Yang hidup di bumi Nusantaraku
Aku enggan untuk turun
Sayapku tetap melebar
Kanan kiriku tampak sungai-sungai
Ada yang masih utuh alami
Namun banyak pula yang berbau
Terkontaminasi kapitalisme
Gunung-gunung masih ada yang angker
Namun banyak pula yang telah terkikis
Terdesak kebutuhan globalisasi
Terpaksa aku istirahat di atas awan
Nan kelabu hampir menjadi hujan
Namun terasa awan ini berbau asam
Rupanya telah pula terkontaminasi gas CO2
Dari mobil-mobil orang-orang kaya
Dari kendaraan reyot rakyat jelata
Dari pabrik-pabrik berasap hitam
Terpaksa kutinggalkan awan asam itu
Yang mulai mencair
Mengirimkan airnya yang bertoxic
Ke bumi Nusantara, tanah agraria
Kemana lagi kuharus mencari perlindungan
Di atas dan di bawah tanah tumpah darahku
Tiada lagi tempat yang aman
Yang ada hanya desakan kebutuhan
Dan rintihan kekeringan serta kelaparan
Tak mampu lagi kumembuka sayap
Turun kembali ke tempatku semula
Rumah reyot berisi harapan duka
Lebih baik kuhidup dalam impian saja
Karena kenyataan yang ada pahit semua
(Yanti, Bonn, Okt. 2008)
BISAI
KENYATAAN SEPANJANG TAHUN
Aku berangkat dari sebuah gedung
Jauh dari reot dan bahkan super moderen
Pesawatku sudah bukan Boeing 747
Tapi sudah Air bus A 380
Perutku selalu kenyang
Semua pakaianku bermerek mahal
Koperku penuh oleh-oleh
Pesawat tumpanganku sedikit oleng ke kanan
Dari jendela bisnisklas kulihat kemiskinan rakyatku
Bahkan di luar penglihatan juga tampak jelas
Aku merasa aku cukup baik dan bahkan sangat baik
Bisa menyatukan diri dengan kemiskinan
Meski itu bukan milikku sendiri
Tentu ada beda antara bisnisklas dan kelas kambing
Tapi tolong catat
Aku berada di samping kalian.
BISAI.
Hofdddorp, 5102008
MAWIE ANANTA JONIE:
PEKIK BELIBIS ITU SAYUP SAYUP SAMPAI
Hampir setiap tahun pekik belibis itu sayup sayup sampai,
bila musim gugur tiba dan musim dingin dimulai.
Terbang dari Utara ke Selatan lewat bubungan atap rumah,
bulan terang aku menjolok puisi dengan mata panah.
Di rawa rimba kampung halaman telaga sudah mengering,
gelombang kehidupan dan kematian semakin nyaring.
Ribuan puisi ribuan tuntutan telah menuding wajah penguasa,
tapi belum cukup belum mengubah apa apa.
Bersatulah kita yang dapat dipersatukan,
menyerbu mengalahkan kemiskinan dan kelaparan.
Amsterdam, 05/10/2008
Lusi:
Musim semi
Pastilah datang!
*****
BERSAJAK KITA BERSAJAK.
Untuk Yanti, Bisai, Mawi,
Lusi dan Heri.
Puisi Yanti *) mengharu kalbu,
mengkaji Nusa tengah merana,
Bisai melambai**) ikut menyambut,
bersatuhati dengan sang miskin,
Mawie merintih bagai belibis***),
kampung terpandang kering kerontang,
penuh harapan Lusi optimis
musim semi pastilah datang !****)
Bersajak kita bersajak,
lawan penguasa berkulit badak,
memuja Nusa kampung halaman,
gigih melawan pembodohan,
bela budaya Nusantara,
khatulistiwa bukanlah gurun pasir,
betapa sengsara wanita jelita
dipasung berselubung karung.
Bersajak kita bersajak,
Bersajak kita berlawan,
Yanti, Bisai, Mawie dan Lusi,
tetap smangat bersama Heri,
gubah puisi menata kata,
kumandangkan Nusa Setengah Merdeka !!!****)
Keterangan:
*) Puisi Yanti Mirdayanti: Impian Awal Bulan Oktober.
**) Puisi Mawie: Pekik Belibis Itu Sayup Sayup Sampai.
***) Puisi Bisai: Kenyataan Sepanjang Tahun.
****) Komentar cekak-aos Lusi.
*****) Kumpulan Puisi Heri Latief: 50% Merdeka .
Yanti Mirdayanti:
IMPIAN AWAL BULAN OKTOBER
Septemberku telah berlalu.
Tak terasa Oktober mulai menyambutku
Aku terkantuk di rumah reyotku
Perutku kosong, bajuku rompeng
Ketika mataku terbuka
Aku telah bersayap lebar
Terbang di atas angkasa bumi Nusantara
Ketika kutatap Jawa
Tak kulihat lagi hijaunya tanah
Semua hutan di sana telah enyah
Sawah dan kolam tinggal setitik saja
Digantikan dengan semut manusia
Dan iringan mobil serta motor-motor kredit
Kuarahkan tatapanku ke Sumatera
Di sana hutan pun telah berubah
Menjadi kebun kelapa sawit yang seragam
Segera kukepakkan sayap ke arah Kalimantan
Hutan gambut pusat pernapasan Asia Tenggara
Oh, telah melelehkan air mataku
Merah pedih kedua mataku
Karena yang muncul dari hutan gambut ini
Hanya asap dan asap panas kekeringan
Kulanjutkan terbang ke Sulawesi
Kehijauan di sana pun makin menyempit
Lalu ke Irian Jaya nan jauh di sana
Oh, tanahnya telah bolong-bolong semua
Digali, dikeduk, dijarah, dijual
Tak lelah kukepak dan kukepak sayapku
Namun tiada lagi kehijauan yang menghibur mata
Bumi Nusantara tampak lelah tak berdaya
Lapar, berperut kosong
Seperti perutku ini
Seperti jutaan perut manusia
Yang hidup di bumi Nusantaraku
Aku enggan untuk turun
Sayapku tetap melebar
Kanan kiriku tampak sungai-sungai
Ada yang masih utuh alami
Namun banyak pula yang berbau
Terkontaminasi kapitalisme
Gunung-gunung masih ada yang angker
Namun banyak pula yang telah terkikis
Terdesak kebutuhan globalisasi
Terpaksa aku istirahat di atas awan
Nan kelabu hampir menjadi hujan
Namun terasa awan ini berbau asam
Rupanya telah pula terkontaminasi gas CO2
Dari mobil-mobil orang-orang kaya
Dari kendaraan reyot rakyat jelata
Dari pabrik-pabrik berasap hitam
Terpaksa kutinggalkan awan asam itu
Yang mulai mencair
Mengirimkan airnya yang bertoxic
Ke bumi Nusantara, tanah agraria
Kemana lagi kuharus mencari perlindungan
Di atas dan di bawah tanah tumpah darahku
Tiada lagi tempat yang aman
Yang ada hanya desakan kebutuhan
Dan rintihan kekeringan serta kelaparan
Tak mampu lagi kumembuka sayap
Turun kembali ke tempatku semula
Rumah reyot berisi harapan duka
Lebih baik kuhidup dalam impian saja
Karena kenyataan yang ada pahit semua
(Yanti, Bonn, Okt. 2008)
BISAI
KENYATAAN SEPANJANG TAHUN
Aku berangkat dari sebuah gedung
Jauh dari reot dan bahkan super moderen
Pesawatku sudah bukan Boeing 747
Tapi sudah Air bus A 380
Perutku selalu kenyang
Semua pakaianku bermerek mahal
Koperku penuh oleh-oleh
Pesawat tumpanganku sedikit oleng ke kanan
Dari jendela bisnisklas kulihat kemiskinan rakyatku
Bahkan di luar penglihatan juga tampak jelas
Aku merasa aku cukup baik dan bahkan sangat baik
Bisa menyatukan diri dengan kemiskinan
Meski itu bukan milikku sendiri
Tentu ada beda antara bisnisklas dan kelas kambing
Tapi tolong catat
Aku berada di samping kalian.
BISAI.
Hofdddorp, 5102008
MAWIE ANANTA JONIE:
PEKIK BELIBIS ITU SAYUP SAYUP SAMPAI
Hampir setiap tahun pekik belibis itu sayup sayup sampai,
bila musim gugur tiba dan musim dingin dimulai.
Terbang dari Utara ke Selatan lewat bubungan atap rumah,
bulan terang aku menjolok puisi dengan mata panah.
Di rawa rimba kampung halaman telaga sudah mengering,
gelombang kehidupan dan kematian semakin nyaring.
Ribuan puisi ribuan tuntutan telah menuding wajah penguasa,
tapi belum cukup belum mengubah apa apa.
Bersatulah kita yang dapat dipersatukan,
menyerbu mengalahkan kemiskinan dan kelaparan.
Amsterdam, 05/10/2008
Lusi:
Musim semi
Pastilah datang!
*****
KUMPULAN SAJAK
BERSAJAK KITA BERSAJAK
Untuk Mawie Ananta Jonie
Datang melayang berita ria,
rajutan Mawie kumpulan puisi,
tambah khazanah pustaka sastra,
dengan Cerita Untuk Nansy.
Biar umat tengah bergolak,
bersajak kita bersajak,
isi hati nyanyi nurani,
dendang sayang menjelang menang.
Berpuisi kita berpuisi;
kala gelita melanda bangsa,
bernyanyi kita bernyanyi,
Nancy semoga jadi dewasa.
Berkisah kita panjang cerita,
pahit mereguk empedu hidup,
betapa prahara belum berlalu,
habis gelap terbitlah terang.
Untuk Mawie Ananta Jonie
Datang melayang berita ria,
rajutan Mawie kumpulan puisi,
tambah khazanah pustaka sastra,
dengan Cerita Untuk Nansy.
Biar umat tengah bergolak,
bersajak kita bersajak,
isi hati nyanyi nurani,
dendang sayang menjelang menang.
Berpuisi kita berpuisi;
kala gelita melanda bangsa,
bernyanyi kita bernyanyi,
Nancy semoga jadi dewasa.
Berkisah kita panjang cerita,
pahit mereguk empedu hidup,
betapa prahara belum berlalu,
habis gelap terbitlah terang.
KUMPULAN SAJAK
Nurdiana:
BERSAJAK KITA BERSAJAK
MENYAMBUT ANTOLOGI
50% MERDEKA
Berita gembira dari Evi,
lagi-lagi antologi puisi,
50% merdeka karya Heri,
kita sambut bergirang hati.
Berpuisi kita berpuisi,
memuji Ibu Pertiwi.
Bersajak kita bersajak,
pecahkan bisul yang lama bengkak.
Dengung senandung dari Bandung,
dendang sayang Para Hiyangan.
nyaring seruling relung menggaung,
penuh semangat belaian nyaman.
Bersajak kita bersajak,
muntahkan empedu duka nestapa,
Berpuisi kita berpuisi,
tetap semangat tiada henti.
11-7-2008.
BERSAJAK KITA BERSAJAK
MENYAMBUT ANTOLOGI
50% MERDEKA
Berita gembira dari Evi,
lagi-lagi antologi puisi,
50% merdeka karya Heri,
kita sambut bergirang hati.
Berpuisi kita berpuisi,
memuji Ibu Pertiwi.
Bersajak kita bersajak,
pecahkan bisul yang lama bengkak.
Dengung senandung dari Bandung,
dendang sayang Para Hiyangan.
nyaring seruling relung menggaung,
penuh semangat belaian nyaman.
Bersajak kita bersajak,
muntahkan empedu duka nestapa,
Berpuisi kita berpuisi,
tetap semangat tiada henti.
11-7-2008.
KUMPULAN SAJAK
Suar Suroso:
REMEMBERING
OLD DEAR COMRADES
For comrades:
Qian Liren, Zhu Liang, He Xiquan,
Zhu Shanqing, , ……….
Kim, Fukuda, Sardar Mitra, Sasmita etc.
Quietly flows the Danube over Europe unceasingly,
slicing in two parts the Hungarian capital city,
Budapest divided by the great river;
gazing far away from the top of Gellert Hill *),
how magnificent is the beauty of citiy’s panorama,
a bridge of steel overflowing the giant river,
from West to the East linking the two riversides,
binding Buda and Pest to become Budapest,
like a green jewel, the beautiful Margaret Island **),
decorating the long bridge flowing over the Danube;
in a white two-storeys building at Benczur Utca,
the headquarter of the World Federation of Democratic Youth,
unceasing the telephone ringing and typewriters ticking,
where enthusiastically working
the youth representatives from five continents.
After the defeat of fascism and the victory of the World War,
500 representatives of young generation from five continents,
gathered and pledged in London:
“We pledge that we shall remember this unity,
forged in this month, October 1945
not only today, not only this week, this year, but always
until we have built the world we dreamed and fought for
We pledge ourselves to build the unity of the young throughout the world
all races, all colours, all nationalities, all beliefs
to eliminate all traces of fascism from the earth
to build a deep and sincere international friendship
among the peoples of the world,
to keep a just and lasting peace
to eliminate want, frustration and enforced idleness,
we have come to confirm the unity of all youth;
salute our comrades who have died
and pledge our word that skillful hands, keen brains and young enthusiasm
shall never more be wasted in war
we shall build a world that is beautiful and free,
Forward fo our Future !” ****).
“Youth Unite ! Forward for lasting peace,
democracy, national independence of the peoples
and for our better future !”
With this pledge and slogan
the World Federation of Democratic Youth (WFDY) has been established.
So beautiful as the rithme of Strauss’s Waltzes,
from Budapest the WFDY sings aloud the voice of the youth:
“One great vision unites us,
though remotes are the lands of our birth” *****)
this marvelous and great ideals
are the ground of activities of this world youth organisation.
Splendid and joyfull
as the rithme of Czardas dance in Liszt Hungarian Rhapsody,
in our memory:
sweeter than the yellowish honey,
more fragrance than the smell of jasmine and red roses,
more impressive than a dream in a silent night,
the youngster of the world moving forward
like the waves of stampede in the large ocean,
so history has noted:
the South-East Asian Youth Meeting in Calcutta,
Afro-Asian Students Conference in Bandung,
Afro-Asian Youth Conference in Cairo,
World Youth Forum in Moscow,
all kind of WFDY congresses, seminars, meetings
ini Budapest, Prague, Wienna, Kiev, Colombo,
Stockholm, Santiago de Chile, Conakry, Jakarta, Sofia;
international youth delegations for friendly visit to
Indonesia, China, USSR, Korea, Vietnam, Mongolia,Marocco, Senegal,
Mali, Guinea, Ghana, Cuba etc.;
and how tremendous and gigantic events of festivity,
when ten of thousands of youngsters,
from more than one hundred countries of five continents,
meeting new friends abroad far from lands of own birth,
dancing and singing, competing in sports,
vividly exchanging ideas, lovely embracing each other,
in World Youth and Students Festivals
in Budapest, Prague, Berlin, Warsaw, Bucharest, Moscow,
Vienna, Stockholm, ….Pyongyang,
under the banner of Peace dan Friendship
sponsored by the WFDY.
When the Cold War’s rampage menacing the world,
working at the headquarter of WFDY in Budapest,
we remember:
fierce debating in meetings of secretariat,
seeking truth through arguing on differences of opinions,
for the cause of defending the rights of young generation,
defending world peace,
supporting the struggles of the peoples
for national independence.
These great ideals of the WFDY:,
“one great vision unite us”
and the pledge adopted on the year of 1945,
is still vivid in our memory,
is unforgettable
when we enter the twenty first century.
January 13, 2009.
Notes:
*) Name of the Hill Park in Budapest on the riverside of the Danube.
**) Name of an Islet in the Danube near the bridge linking Buda and Pest.
***) Name of a street in Budapest.
****) The Pledge adopted by World Youth Conference in London, October 1945. .
*****) First sentence of the Hymn of the WFDY.
January 13, 2009.
*****
REMEMBERING
OLD DEAR COMRADES
For comrades:
Qian Liren, Zhu Liang, He Xiquan,
Zhu Shanqing, , ……….
Kim, Fukuda, Sardar Mitra, Sasmita etc.
Quietly flows the Danube over Europe unceasingly,
slicing in two parts the Hungarian capital city,
Budapest divided by the great river;
gazing far away from the top of Gellert Hill *),
how magnificent is the beauty of citiy’s panorama,
a bridge of steel overflowing the giant river,
from West to the East linking the two riversides,
binding Buda and Pest to become Budapest,
like a green jewel, the beautiful Margaret Island **),
decorating the long bridge flowing over the Danube;
in a white two-storeys building at Benczur Utca,
the headquarter of the World Federation of Democratic Youth,
unceasing the telephone ringing and typewriters ticking,
where enthusiastically working
the youth representatives from five continents.
After the defeat of fascism and the victory of the World War,
500 representatives of young generation from five continents,
gathered and pledged in London:
“We pledge that we shall remember this unity,
forged in this month, October 1945
not only today, not only this week, this year, but always
until we have built the world we dreamed and fought for
We pledge ourselves to build the unity of the young throughout the world
all races, all colours, all nationalities, all beliefs
to eliminate all traces of fascism from the earth
to build a deep and sincere international friendship
among the peoples of the world,
to keep a just and lasting peace
to eliminate want, frustration and enforced idleness,
we have come to confirm the unity of all youth;
salute our comrades who have died
and pledge our word that skillful hands, keen brains and young enthusiasm
shall never more be wasted in war
we shall build a world that is beautiful and free,
Forward fo our Future !” ****).
“Youth Unite ! Forward for lasting peace,
democracy, national independence of the peoples
and for our better future !”
With this pledge and slogan
the World Federation of Democratic Youth (WFDY) has been established.
So beautiful as the rithme of Strauss’s Waltzes,
from Budapest the WFDY sings aloud the voice of the youth:
“One great vision unites us,
though remotes are the lands of our birth” *****)
this marvelous and great ideals
are the ground of activities of this world youth organisation.
Splendid and joyfull
as the rithme of Czardas dance in Liszt Hungarian Rhapsody,
in our memory:
sweeter than the yellowish honey,
more fragrance than the smell of jasmine and red roses,
more impressive than a dream in a silent night,
the youngster of the world moving forward
like the waves of stampede in the large ocean,
so history has noted:
the South-East Asian Youth Meeting in Calcutta,
Afro-Asian Students Conference in Bandung,
Afro-Asian Youth Conference in Cairo,
World Youth Forum in Moscow,
all kind of WFDY congresses, seminars, meetings
ini Budapest, Prague, Wienna, Kiev, Colombo,
Stockholm, Santiago de Chile, Conakry, Jakarta, Sofia;
international youth delegations for friendly visit to
Indonesia, China, USSR, Korea, Vietnam, Mongolia,Marocco, Senegal,
Mali, Guinea, Ghana, Cuba etc.;
and how tremendous and gigantic events of festivity,
when ten of thousands of youngsters,
from more than one hundred countries of five continents,
meeting new friends abroad far from lands of own birth,
dancing and singing, competing in sports,
vividly exchanging ideas, lovely embracing each other,
in World Youth and Students Festivals
in Budapest, Prague, Berlin, Warsaw, Bucharest, Moscow,
Vienna, Stockholm, ….Pyongyang,
under the banner of Peace dan Friendship
sponsored by the WFDY.
When the Cold War’s rampage menacing the world,
working at the headquarter of WFDY in Budapest,
we remember:
fierce debating in meetings of secretariat,
seeking truth through arguing on differences of opinions,
for the cause of defending the rights of young generation,
defending world peace,
supporting the struggles of the peoples
for national independence.
These great ideals of the WFDY:,
“one great vision unite us”
and the pledge adopted on the year of 1945,
is still vivid in our memory,
is unforgettable
when we enter the twenty first century.
January 13, 2009.
Notes:
*) Name of the Hill Park in Budapest on the riverside of the Danube.
**) Name of an Islet in the Danube near the bridge linking Buda and Pest.
***) Name of a street in Budapest.
****) The Pledge adopted by World Youth Conference in London, October 1945. .
*****) First sentence of the Hymn of the WFDY.
January 13, 2009.
*****
23 Oktober 2009
KUMPULAN SAJAK
BUDAPEST DALAM KENANGAN
Untuk kawan-kawan:
Qian Liren, Zhu Liang, He Xiquan,
Zhu Shanqing,..,
Sardar Mitra, Sasmita dll.
Abadi tenang Donau mengalir mengukir Eropa,
membelah dua Budapest ibukota Hongaria,
dari puncak Bukit Gellert *) sejauh dipandang mata,
betapa indah panorama kota jelita,
jembatan baja terentang melintasi sungai,
dari Barat ke Timur menyambung dua tepi,
mengikat Buda dan Pest jadi Budapest,
cantik Pulau Margaret **) bagai mutiara hijau
menghias jembatan panjang melintas Donau,
di gedung putih bertingkat dua di Jalan Benczur Utca ***),
sibuk dering telepon dan gemercik mesin ketik,
markas pemuda wakil lima benua bekerja asyik.
Dari kemenangan Perang Dunia atas fasisme,
500 wakil pemuda lima benua,
di London bersumpah:
“Kita bersumpah akan selalu ingat persatuan ini,
yang ditempa dalam bulan ini, Oktober 1945,
tak hanya hari ini, minggu ini, tahun ini, tapi selalu,
sampai kita sudah membangun dunia yang kita impikan dan perjuangkan,
kita bersumpah membangun persatuan pemuda seluruh dunia,
semua ras, semua warna kulit, semua bangsa, semua kepercayaan,
untuk menghapus habis semua sisa fasisme di muka bumi,
membangun persahabatan internasional
yang kokoh dan sejati antara rakyat sedunia,
mempertahankan perdamaian adil dan abadi,
melenyapkan penderitaan, kekecewaan dan pemaksaan,
kita tampil demi persatuan semua pemuda,
saluut kepada kawan-kawan kita yang sudah gugur,
dan kita bersumpah
bahwa tangan-tangan kita yang cekatan, otak yang cerdas
dan semangat muda remaja kita
tak akan lagi jadi sia-sia karena perang,
kita akan membangun dunia yang indah jelita dan bebas,
Majulah demi Masa Depan kita !!!” ***)
Pemuda Bersatulah ! Maju untuk perdamaian abadi,
demokrasi, kemerdekaan nasional rakyat-rakyat
dan masa depan yang lebih baik !
Dengan sumpah dan semboyan demikian
Lahirlah Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (GPDS),
yang bermarkas di Budapest.
Seindah irama Waltz Gelombang Donau Biru Johann Strausz,
dari Budapest
GPDS menyenandungkan suara pemuda:
“Kita ini bersatu, biar terpisah negeri kita
musuh mau mengadu, perdamaian cita-cita kita” ****)
Cita-cita indah lagi mulia ini
mendasari kegiatan organisasi besar pemuda demokratis sedunia.
Merdu ceria bagaikan irama czardas
dalam Rhapsodi Hongaria karya Liszt,
sejarah mencatat:
betapa megah dan jaya,
puluhan ribu muda-mudi,
pemuda ratusan negeri lima benua,
menari dan menyanyi, berolah-raga,
bertukar fikiran, mesra berpelukan,
dalam Festival-Festival Pemuda Pelajar Sedunia
di Budapest, Praha, Berlin, Warsawa, Bukarest, Moskwa,
Wina, Stockholm ….
di bawah semboyan Perdamaian dan Persahabatan
berlangsung berkat prakarsa GPDS.
Di kala dunia rumit dilanda Perang Dingin,
disamping kening mengkerut , kita pun senyum riang gembira
menghiasi debat sengit dalam rapat,
memutar otak demi persahabatan,
mencari kebenaran bagi jalan membela hak-hak generasi muda,
berjuang demi perdamaian dunia,
mendukung perjuangan bangsa-bangsa
untuk pembebasan nasional.
Cita-cita megah lagi mulia,
sumpah setia di tahun 1945
tak daluwarsa
di awal abad duapuluh satu.
12 Januari 2009.
Keterangan:
*) Nama bukit taman di Budapest di pinggir sungai Donau
**) Nama pulau kecil di tengah sungai Donau dekat jembatan yang menghubungkan Buda dan Pest
***) Sumpah hasil Konferensi London 1945.
****) Dua baris kalimat Himne GPDS.
Untuk kawan-kawan:
Qian Liren, Zhu Liang, He Xiquan,
Zhu Shanqing,..,
Sardar Mitra, Sasmita dll.
Abadi tenang Donau mengalir mengukir Eropa,
membelah dua Budapest ibukota Hongaria,
dari puncak Bukit Gellert *) sejauh dipandang mata,
betapa indah panorama kota jelita,
jembatan baja terentang melintasi sungai,
dari Barat ke Timur menyambung dua tepi,
mengikat Buda dan Pest jadi Budapest,
cantik Pulau Margaret **) bagai mutiara hijau
menghias jembatan panjang melintas Donau,
di gedung putih bertingkat dua di Jalan Benczur Utca ***),
sibuk dering telepon dan gemercik mesin ketik,
markas pemuda wakil lima benua bekerja asyik.
Dari kemenangan Perang Dunia atas fasisme,
500 wakil pemuda lima benua,
di London bersumpah:
“Kita bersumpah akan selalu ingat persatuan ini,
yang ditempa dalam bulan ini, Oktober 1945,
tak hanya hari ini, minggu ini, tahun ini, tapi selalu,
sampai kita sudah membangun dunia yang kita impikan dan perjuangkan,
kita bersumpah membangun persatuan pemuda seluruh dunia,
semua ras, semua warna kulit, semua bangsa, semua kepercayaan,
untuk menghapus habis semua sisa fasisme di muka bumi,
membangun persahabatan internasional
yang kokoh dan sejati antara rakyat sedunia,
mempertahankan perdamaian adil dan abadi,
melenyapkan penderitaan, kekecewaan dan pemaksaan,
kita tampil demi persatuan semua pemuda,
saluut kepada kawan-kawan kita yang sudah gugur,
dan kita bersumpah
bahwa tangan-tangan kita yang cekatan, otak yang cerdas
dan semangat muda remaja kita
tak akan lagi jadi sia-sia karena perang,
kita akan membangun dunia yang indah jelita dan bebas,
Majulah demi Masa Depan kita !!!” ***)
Pemuda Bersatulah ! Maju untuk perdamaian abadi,
demokrasi, kemerdekaan nasional rakyat-rakyat
dan masa depan yang lebih baik !
Dengan sumpah dan semboyan demikian
Lahirlah Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (GPDS),
yang bermarkas di Budapest.
Seindah irama Waltz Gelombang Donau Biru Johann Strausz,
dari Budapest
GPDS menyenandungkan suara pemuda:
“Kita ini bersatu, biar terpisah negeri kita
musuh mau mengadu, perdamaian cita-cita kita” ****)
Cita-cita indah lagi mulia ini
mendasari kegiatan organisasi besar pemuda demokratis sedunia.
Merdu ceria bagaikan irama czardas
dalam Rhapsodi Hongaria karya Liszt,
sejarah mencatat:
betapa megah dan jaya,
puluhan ribu muda-mudi,
pemuda ratusan negeri lima benua,
menari dan menyanyi, berolah-raga,
bertukar fikiran, mesra berpelukan,
dalam Festival-Festival Pemuda Pelajar Sedunia
di Budapest, Praha, Berlin, Warsawa, Bukarest, Moskwa,
Wina, Stockholm ….
di bawah semboyan Perdamaian dan Persahabatan
berlangsung berkat prakarsa GPDS.
Di kala dunia rumit dilanda Perang Dingin,
disamping kening mengkerut , kita pun senyum riang gembira
menghiasi debat sengit dalam rapat,
memutar otak demi persahabatan,
mencari kebenaran bagi jalan membela hak-hak generasi muda,
berjuang demi perdamaian dunia,
mendukung perjuangan bangsa-bangsa
untuk pembebasan nasional.
Cita-cita megah lagi mulia,
sumpah setia di tahun 1945
tak daluwarsa
di awal abad duapuluh satu.
12 Januari 2009.
Keterangan:
*) Nama bukit taman di Budapest di pinggir sungai Donau
**) Nama pulau kecil di tengah sungai Donau dekat jembatan yang menghubungkan Buda dan Pest
***) Sumpah hasil Konferensi London 1945.
****) Dua baris kalimat Himne GPDS.
RESENSI BUKU
Suar Suroso:
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(1)
I. Tentang Buku “NEGARA MADIUN ?”
Selama lebih enam puluh tahun, dengan Peristiwa Madiun, PKI terus menerus dituduh memberontak. Pada kesempatan ulang tahun ke enam puluh Peristiwa Madiun, Sabam Siagian lagi-lagi menuduh PKI memberontak. Tulisannya didasarkan antara lain pada isi buku “Negara Madiun ?”, karya Hersri Setiawan, yang diterbitkan dengan dana Ford Foundation. Dalam SUARA PEMBARUAN DAILY, 18-9-2008, Sabam Siagian menulis “Dalam suatu wawancara, Soemarsono bercerita: Dari Madiun saya menyusul rombongan tur Musso ke Kediri. Jadi saya, Pak Musso, dan Amir Syarifuddin bertemu di Kediri membicarakan situasi di Madiun”. Soemarsono melaporkan tentang pasukan gelap yang pakai tanda tengkorak dan bersikap provokatif. Ia khawatir peristiwa di Solo akan terjadi juga di Madiun dengan aksi penculikan. Setelah diskusi, "Akhirnya diambil kesimpulan untuk bertindak saja. Lucuti saja! Bisa itu? Ya bisa saja! Dan saya dipeluk Pak Musso. ( kutipan dari Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono, Pelaku Perjuangan oleh Hersri Setiawan - 2002 )”. Dengan kutipan ini, Sabam Siagian berusaha meyakinkan pembaca, bahwa Peristiwa Madiun terjadi karena putusan pimpinan tertinggi PKI, Musso dan Amir Sjarifoeddin. Buku “Negara Madiun ?” memang menanamkan kesan, bahwa PKI melakukan pemberontakan, merebut kekuasaan di daerah, mendirikan pemerintah daerah Madiun. Di samping itu, menggambarkan banyak ketidak-beresan di kalangan pimpinan PKI, mendiskreditkan kader-kader PKI. Mulai dari Musso, Alimin sampai-sampai DN Aidit. Dalam hal menempatkan PKI sebagai yang bersalah dalam Peristiwa Madiun, buku ini adalah setara dengan karya-karya sederetan sejarahwan anti-komunis Prof. Noegroho Notosoesanto, Taufik Ismail, Datus C.Smith Jr., Brian May, M.C.Riklefs, Leslie Palmier, Peter Polomka, Ide Anak Agung Gde Agung, Audrey R.Kahin dan George McT.Kahin, Wilfred T. Neill, Anthony Reid, Franklin B.Weinstein, Donald Hindley, Anthonie C.A.Dake, Justus M. Van Der Kroef, Douglas E.Ramage, Arnold C. Brackman. Jadi bukan hanya Sabam Siagian, sekian banyak pakar dan sejarahwan dengan sekian banyak buku telah bertahun-tahun menyalahkan PKI melakukan pemberontakan di Madiun.
Pimpinan PKI sudah berusaha membantahnya dengan menerbitkan Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, pedato-pedato DN Aidit di depan pengadilan negeri Jakarta PKI Menggugat Peristiwa Madiun dan pedato di depan Parlemen RI ketika menghadapi pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa Sumatera dan Peristiwa Madiun. Tapi tuduhan tentang PKI memberontak tidak juga padam.
Kini secara tegas pakai data-data sejarah membantah PKI memberontak dengan Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono tampil dengan buku “Soemarsono REVOLUSI AGUSTUS Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, terbitan Hasta Mitra, November 2008, dengan Kata Pengantar Wilson dan desain cover Nugroho. Dilengkapi dengan lampiran uraian dan catatan tiga kawan yang jadi saksi dan terlibat dalam Peristiwa Madiun, Gondo Pratomo, Francisca Fanggidey, Roesiyati Roedhito, serta teks lengkap Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia. Buku ini diedit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Dalam Catatan Penerbitnya, Joesoef Isak menyatakan, bahwa “Peristiwa Madiun pada hakekatnya bukan konflik antara Soekarno dan Soemarsono – Amir Sjarifoeddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang dingin adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri”.
Dengan terbitnya buku ini, Hasta Mitra tampil lagi memberi urun yang bernilai bagi khazanah kepustakaan Indonesia, buku yang memaparkan pengalaman empiris Soemarsono, mengungkap berbagai segi penting sejarah modern Indonesia yang selama sekian dasawarsa digelapkan dan dimanipulasi penguasa mengkambing-hitamkan kekuatan kiri di Indonesia. Komisi Tulisan Soemarsono Eropa, berjasa mengedit buku ini dengan transliterasi dari rekaman ceramah-ceramah Pak Soemarsono, berhasil mempertahankan bahasa lisan dengan gaya Soemarsono, yang blak-blakan, buka kulit tampak isi, memaparkan pengalaman empiris secara hidup. Enak dibaca. Pengalaman empiris perjuangan Pak Soemarsono dijalin dengan ungkapan-ungkapan teoretis yang seharusnya membimbing gerakan kiri Indonesia.
Mengenai buku “Negara Madiun ?”, Pak Soemarsono mengatakan: “Buku mengenai saya terbit pada akhir September 2002, tetapi tanpa persetujuan saya. Karena saya pernah diwawancarai, mestinya saya ditanyai dulu atau mendapat kesempatan baca sebelum bukunya beredar. Tapi ini tidak. Mula-mula kesan saya cuma tidak etis saja menurut kode etik penerbitan. Ternyata tidak itu saja. Setelah saya pelajari, lho isinya kok Ngalor ngidul – ke sana ke mari – tanpa arah kayak begini. Ngalor ngidul itu, nggak sesuai dengan apa yang kami omongkan bersama. Ia pakai dokumen-dokumen waktu saya ditahan Belanda di Semarang dan Jakarta, lalu juga komentar dari radio Nefis dari Surabaya. Barangkali supaya kelihatan otentik, hasil kerja riset. Keterlaluan”. Lebih lanjut Soemarsono menulis: “Buku yang beredar mengenai saya itu pada kulit muka pakai gambar saya, Soemarsono. Titel bukunya “Negara Madiun ?” Wah, titelnya itu sendiri sudah aneh kan. Wong Peristiwa Madiun itu ke manapun dan di mana pun saya berada, saya selalu katakan itu bukan pemberontakan – met of zonder tanda tanya yang insinuatif itu. Kepada siapa saja, di Negeri Belanda, di Radio Hilversum, di mana saja saya bicara tentang Peristiwa Madiun, tegas saya katakan: Itu bukan pemberontakan.” (Soemarsono REVOLUSI AGUSTUS Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Hasta Mitra 2008, hal. xix).
Buku ini memaparkan pengalaman pribadi Pak Soemarsono sebagai seorang tokoh, yang terlibat dan ambil bagian aktif dalam revolusi Agustus 1945.Terutama memainkan peranan penting dalam Peristiwa Madiun. Isinya kaya dengan pengalaman pribadi yang secara hidup dipaparkan. Bukan hanya berguna untuk bahan bacaan tentang sejarah, bahkan sangat bernilai sebagai bahan pelajaran bagi generasi muda yang gandrung akan perobahan keadaan tanahair yang terpuruk dibawah kekuasaan rezim orba. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang mendambakan sosialisme, karena Pak Soemarsono semenjak remaja sudah mencita-citakan sosialisme. Secara menarik dipaparkannya, pengenalan dan pemahamannya akan ciri-ciri tokoh bangsa kita, mulai dari Bung Karno, Hatta, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Musso, Tan Malaka, sampai-sampai DN Aidit. Berdasarkan pengalaman empirisnya dipaparkannya ciri-ciri dan perbedaan kaum sosial-demokrat dengan golongan trotskis dalam revolusi Indonesia. Soemarsono tidak hanya menyanjung para tokoh pejuang nasional, tapi secara kritis juga mengajukan kritik-kritik tajam, termasuk terhadap Pak Alimin dan DN Aidit.
Berpegang pada keyakinan, bahwa perobahan fundamental hanya mungkin terjadi liwat revolusi, Pak Soemarsono menjunjung tinggi Tri-sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat kekuasaan rezim orba
******
(Bersambung)
20-2-2009.
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(1)
I. Tentang Buku “NEGARA MADIUN ?”
Selama lebih enam puluh tahun, dengan Peristiwa Madiun, PKI terus menerus dituduh memberontak. Pada kesempatan ulang tahun ke enam puluh Peristiwa Madiun, Sabam Siagian lagi-lagi menuduh PKI memberontak. Tulisannya didasarkan antara lain pada isi buku “Negara Madiun ?”, karya Hersri Setiawan, yang diterbitkan dengan dana Ford Foundation. Dalam SUARA PEMBARUAN DAILY, 18-9-2008, Sabam Siagian menulis “Dalam suatu wawancara, Soemarsono bercerita: Dari Madiun saya menyusul rombongan tur Musso ke Kediri. Jadi saya, Pak Musso, dan Amir Syarifuddin bertemu di Kediri membicarakan situasi di Madiun”. Soemarsono melaporkan tentang pasukan gelap yang pakai tanda tengkorak dan bersikap provokatif. Ia khawatir peristiwa di Solo akan terjadi juga di Madiun dengan aksi penculikan. Setelah diskusi, "Akhirnya diambil kesimpulan untuk bertindak saja. Lucuti saja! Bisa itu? Ya bisa saja! Dan saya dipeluk Pak Musso. ( kutipan dari Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono, Pelaku Perjuangan oleh Hersri Setiawan - 2002 )”. Dengan kutipan ini, Sabam Siagian berusaha meyakinkan pembaca, bahwa Peristiwa Madiun terjadi karena putusan pimpinan tertinggi PKI, Musso dan Amir Sjarifoeddin. Buku “Negara Madiun ?” memang menanamkan kesan, bahwa PKI melakukan pemberontakan, merebut kekuasaan di daerah, mendirikan pemerintah daerah Madiun. Di samping itu, menggambarkan banyak ketidak-beresan di kalangan pimpinan PKI, mendiskreditkan kader-kader PKI. Mulai dari Musso, Alimin sampai-sampai DN Aidit. Dalam hal menempatkan PKI sebagai yang bersalah dalam Peristiwa Madiun, buku ini adalah setara dengan karya-karya sederetan sejarahwan anti-komunis Prof. Noegroho Notosoesanto, Taufik Ismail, Datus C.Smith Jr., Brian May, M.C.Riklefs, Leslie Palmier, Peter Polomka, Ide Anak Agung Gde Agung, Audrey R.Kahin dan George McT.Kahin, Wilfred T. Neill, Anthony Reid, Franklin B.Weinstein, Donald Hindley, Anthonie C.A.Dake, Justus M. Van Der Kroef, Douglas E.Ramage, Arnold C. Brackman. Jadi bukan hanya Sabam Siagian, sekian banyak pakar dan sejarahwan dengan sekian banyak buku telah bertahun-tahun menyalahkan PKI melakukan pemberontakan di Madiun.
Pimpinan PKI sudah berusaha membantahnya dengan menerbitkan Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, pedato-pedato DN Aidit di depan pengadilan negeri Jakarta PKI Menggugat Peristiwa Madiun dan pedato di depan Parlemen RI ketika menghadapi pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa Sumatera dan Peristiwa Madiun. Tapi tuduhan tentang PKI memberontak tidak juga padam.
Kini secara tegas pakai data-data sejarah membantah PKI memberontak dengan Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono tampil dengan buku “Soemarsono REVOLUSI AGUSTUS Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, terbitan Hasta Mitra, November 2008, dengan Kata Pengantar Wilson dan desain cover Nugroho. Dilengkapi dengan lampiran uraian dan catatan tiga kawan yang jadi saksi dan terlibat dalam Peristiwa Madiun, Gondo Pratomo, Francisca Fanggidey, Roesiyati Roedhito, serta teks lengkap Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia. Buku ini diedit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Dalam Catatan Penerbitnya, Joesoef Isak menyatakan, bahwa “Peristiwa Madiun pada hakekatnya bukan konflik antara Soekarno dan Soemarsono – Amir Sjarifoeddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang dingin adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri”.
Dengan terbitnya buku ini, Hasta Mitra tampil lagi memberi urun yang bernilai bagi khazanah kepustakaan Indonesia, buku yang memaparkan pengalaman empiris Soemarsono, mengungkap berbagai segi penting sejarah modern Indonesia yang selama sekian dasawarsa digelapkan dan dimanipulasi penguasa mengkambing-hitamkan kekuatan kiri di Indonesia. Komisi Tulisan Soemarsono Eropa, berjasa mengedit buku ini dengan transliterasi dari rekaman ceramah-ceramah Pak Soemarsono, berhasil mempertahankan bahasa lisan dengan gaya Soemarsono, yang blak-blakan, buka kulit tampak isi, memaparkan pengalaman empiris secara hidup. Enak dibaca. Pengalaman empiris perjuangan Pak Soemarsono dijalin dengan ungkapan-ungkapan teoretis yang seharusnya membimbing gerakan kiri Indonesia.
Mengenai buku “Negara Madiun ?”, Pak Soemarsono mengatakan: “Buku mengenai saya terbit pada akhir September 2002, tetapi tanpa persetujuan saya. Karena saya pernah diwawancarai, mestinya saya ditanyai dulu atau mendapat kesempatan baca sebelum bukunya beredar. Tapi ini tidak. Mula-mula kesan saya cuma tidak etis saja menurut kode etik penerbitan. Ternyata tidak itu saja. Setelah saya pelajari, lho isinya kok Ngalor ngidul – ke sana ke mari – tanpa arah kayak begini. Ngalor ngidul itu, nggak sesuai dengan apa yang kami omongkan bersama. Ia pakai dokumen-dokumen waktu saya ditahan Belanda di Semarang dan Jakarta, lalu juga komentar dari radio Nefis dari Surabaya. Barangkali supaya kelihatan otentik, hasil kerja riset. Keterlaluan”. Lebih lanjut Soemarsono menulis: “Buku yang beredar mengenai saya itu pada kulit muka pakai gambar saya, Soemarsono. Titel bukunya “Negara Madiun ?” Wah, titelnya itu sendiri sudah aneh kan. Wong Peristiwa Madiun itu ke manapun dan di mana pun saya berada, saya selalu katakan itu bukan pemberontakan – met of zonder tanda tanya yang insinuatif itu. Kepada siapa saja, di Negeri Belanda, di Radio Hilversum, di mana saja saya bicara tentang Peristiwa Madiun, tegas saya katakan: Itu bukan pemberontakan.” (Soemarsono REVOLUSI AGUSTUS Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Hasta Mitra 2008, hal. xix).
Buku ini memaparkan pengalaman pribadi Pak Soemarsono sebagai seorang tokoh, yang terlibat dan ambil bagian aktif dalam revolusi Agustus 1945.Terutama memainkan peranan penting dalam Peristiwa Madiun. Isinya kaya dengan pengalaman pribadi yang secara hidup dipaparkan. Bukan hanya berguna untuk bahan bacaan tentang sejarah, bahkan sangat bernilai sebagai bahan pelajaran bagi generasi muda yang gandrung akan perobahan keadaan tanahair yang terpuruk dibawah kekuasaan rezim orba. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang mendambakan sosialisme, karena Pak Soemarsono semenjak remaja sudah mencita-citakan sosialisme. Secara menarik dipaparkannya, pengenalan dan pemahamannya akan ciri-ciri tokoh bangsa kita, mulai dari Bung Karno, Hatta, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Musso, Tan Malaka, sampai-sampai DN Aidit. Berdasarkan pengalaman empirisnya dipaparkannya ciri-ciri dan perbedaan kaum sosial-demokrat dengan golongan trotskis dalam revolusi Indonesia. Soemarsono tidak hanya menyanjung para tokoh pejuang nasional, tapi secara kritis juga mengajukan kritik-kritik tajam, termasuk terhadap Pak Alimin dan DN Aidit.
Berpegang pada keyakinan, bahwa perobahan fundamental hanya mungkin terjadi liwat revolusi, Pak Soemarsono menjunjung tinggi Tri-sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat kekuasaan rezim orba
******
(Bersambung)
20-2-2009.
RESENSI BUKU
Suar Suroso:
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.
(2)
II. Bukan pemberontakan, tapi pembasmian kaum kiri.
Pak Soemarsono menulis, bahwa Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan. Peristiwa itu didahului oleh berbagai usaha menyingkirkan kekuatan kiri dari pemerintahan. Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin adalah karena Masjumi menarik Menteri-Menterinya dengan alasan menentang persetujuan Renville. Menggantikan Amir, Hatta menjadi Perdana Menteri dengan kabinet bertulang punggung Masjumi. Program kabinet Hatta justru melaksanakan Persetujuan Renville. Dan menjalankan Program Rekonstruksi dan Rasionalisasi. Pelaksanaan Rasionalisasi adalah membersihkan Angkatan Bersenjata dari kekuatan kiri. Inilah realisasi Red Drive Proposals yang dilahirkan dari pertemuan rahasia Sarangan. Pelaksanaan program Rasionalisasi menimbulkan ketegangan dalam angkatan bersenjata. Timbul konflik antara yang pro dan yang menentang. Terjadi berbagai demonstrasi yang diikuti pasukan yang menentang Rasionalisasi. Ketegangan-ketegangan berlanjut dengan terjadinya pembunuhan dan penculikan atas perwira-perwira penentang Rasionalisasi. Terbukti, bahwa penculikan-penculikan dilakukan oleh pasukan pemerintah, karena yang diculik itu dimasukkan dalam rumah tahanan pemerintah. Peristiwa ini berkembang menjadi konflik bersenjata di Solo. Walaupun ada usaha PKI melokalisasinya, konflik menjalar sampai Madiun.
Dengan jelas buku ini memaparkan perkembangan situasi di Madiun. “Waktu saya berjumpa dengan Pak Musso dan Amir di Kediri, saya kemukakan situasi di Madiun.” “Pak Musso dan Amir sesudah membicarakan situasi, mendiskusikan dengan saya, lalu mengatakan: Ya, kita harus tegas, jangan sampai di Madiun ini terjadi seperti yang di Solo, kata Pak Musso. Lha, kalau nanti komandan-komandan batalyon diculiki berabe kita ini. Jadi bagaimana ? tanya saya. Bertindak ! Lucuti saja pasukan yang menculik itu ! jawab mereka berdua”. Pasukan penculik yang pakai tanda tengkorak manusia itu pun dilucuti. Peristiwa culik menculik ini dilaporkan kepada Pemerintah Pusat Jogjakarta, dengan meminta instruksi selanjutnya. Dengan persetujuan Komandan Teritorial, wakil walikota Madiun Supardi melapor atas nama Residen ke pemerintah Yogya. Bunyi telegram Pejabat Residen Supardi: “Di Madiun terjadi perlucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig. Berhubung dengan kepergiannya kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintah daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul” (halaman 130).
Bukannya petunjuk dari Pemerintah Pusat yang diterima, tapi pedato Perdana Menteri Hatta di depan sidang Badan Pekerja KNIP menyatakan “Ya, menurut laporan di Madiun terjadi pemberontakan, entah benar entah tidak….bahwa diumumkan negara Uni Soviet dengan mungkin Musso Presidennya dan Perdana Menterinya Amir Sjarifuddin” (halaman 138). Bung Karno dalam pedato radionya 19 September 1948 juga menyatakan: “Di Madiun terjadi kup Pemerintah Soviet, Musso mendirikan Pemerintah Soviet di Madiun”…. Pada hal Pak Musso waktu itu sedang keliling daerah dan berada di luar daerah Madiun dan memang tidak tahu menahu masalah pemerintah itu” (halaman 139).
22 September overste Suharto, yang sesudah peristiwa G30S menjadi Presiden RI, datang ke Madiun sebagai utusan Panglima Besar Sudirman. Dia menyaksikan, bahwa di Madiun tidak terjadi pemberontakan. Suharto mengeluarkan pernyataan: “Keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana yang disiar-siarkan oleh suratkabar-suratkabar di Yogyakarta. Di Madiun tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera palu-arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal” Pernyataan ini disiarkan oleh suratkabar daerah Suara Rakyat Madiun, dan disiarkan di radio Gelora Pemuda Daerah Madiun” (halaman 150). Amir Sjarifuddin menitip surat agar disampaikan Suharto kepada Presiden Sukarno. “Bung Amir menulis surat kepada Presiden Soekarno sekali pun Presiden sudah berpidato supaya membasmi ‘pengacau’. Tetapi karena merasa Bung Karno itu atasannya atau pimpinannya, maka Bung Amir menulis supaya Bung Karno turun tangan untuk mendamaikan situasi. Bung Amir menulis sendiri surat itu” (halaman 151).
Dengan pernyataan Perdana Menteri Hatta dan seruan pembasmian dalam pedato Presiden Sukarno, berlangsunglah pembasmian atas kaum kiri di Madiun. Tak ada jalan lain, kaum kiri harus melakukan bela diri. Berkali-kali Sumarsono menyatakan bahwa yang terjadi bukanlah pemberontakan, tapi perjuangan membela diri dari usaha pembasmian. Puncaknya terbunuh lah Musso dalam suatu pertempuran, dan dihukum tembak-matinya tanpa liwat pengadilan mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Duta Besar luarbiasa Suripno, Ketua CC PKI Sardjono, ketua SOBSI Haryono dan lain-lain di Ngalian pada 19 Desember 1948. Akibat pengejaran dan pembasmian dengan pengerahan pasukan pemerintah adalah terbasminya seluruh pimpinan utama PKI, dan puluhan ribu kader serta anggota PKI dan kaum kiri lainnya. “Membunuhi orang-orang yang anti penjajah, terutama orang-orang komunis itulah pelaksanaan Pertemuan Rahasia di Sarangan ! Itulah hakekat Peristiwa Madiun yang sebenarnya” (halaman 231).
Inilah realisasi the policy of containment, realisasi Doktrin Truman di Asia. Mendahului pembasmian kaum komunis di Asia Timur dengan Perang Korea dan di Asia Tenggara dengan Perang Vietnam, maka dengan Peristiwa Madiun, Indonesia adalah negeri pertama dilanda Perang Dingin di Asia.
******
(Bersambung)
23-2-2009.
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.
(2)
II. Bukan pemberontakan, tapi pembasmian kaum kiri.
Pak Soemarsono menulis, bahwa Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan. Peristiwa itu didahului oleh berbagai usaha menyingkirkan kekuatan kiri dari pemerintahan. Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin adalah karena Masjumi menarik Menteri-Menterinya dengan alasan menentang persetujuan Renville. Menggantikan Amir, Hatta menjadi Perdana Menteri dengan kabinet bertulang punggung Masjumi. Program kabinet Hatta justru melaksanakan Persetujuan Renville. Dan menjalankan Program Rekonstruksi dan Rasionalisasi. Pelaksanaan Rasionalisasi adalah membersihkan Angkatan Bersenjata dari kekuatan kiri. Inilah realisasi Red Drive Proposals yang dilahirkan dari pertemuan rahasia Sarangan. Pelaksanaan program Rasionalisasi menimbulkan ketegangan dalam angkatan bersenjata. Timbul konflik antara yang pro dan yang menentang. Terjadi berbagai demonstrasi yang diikuti pasukan yang menentang Rasionalisasi. Ketegangan-ketegangan berlanjut dengan terjadinya pembunuhan dan penculikan atas perwira-perwira penentang Rasionalisasi. Terbukti, bahwa penculikan-penculikan dilakukan oleh pasukan pemerintah, karena yang diculik itu dimasukkan dalam rumah tahanan pemerintah. Peristiwa ini berkembang menjadi konflik bersenjata di Solo. Walaupun ada usaha PKI melokalisasinya, konflik menjalar sampai Madiun.
Dengan jelas buku ini memaparkan perkembangan situasi di Madiun. “Waktu saya berjumpa dengan Pak Musso dan Amir di Kediri, saya kemukakan situasi di Madiun.” “Pak Musso dan Amir sesudah membicarakan situasi, mendiskusikan dengan saya, lalu mengatakan: Ya, kita harus tegas, jangan sampai di Madiun ini terjadi seperti yang di Solo, kata Pak Musso. Lha, kalau nanti komandan-komandan batalyon diculiki berabe kita ini. Jadi bagaimana ? tanya saya. Bertindak ! Lucuti saja pasukan yang menculik itu ! jawab mereka berdua”. Pasukan penculik yang pakai tanda tengkorak manusia itu pun dilucuti. Peristiwa culik menculik ini dilaporkan kepada Pemerintah Pusat Jogjakarta, dengan meminta instruksi selanjutnya. Dengan persetujuan Komandan Teritorial, wakil walikota Madiun Supardi melapor atas nama Residen ke pemerintah Yogya. Bunyi telegram Pejabat Residen Supardi: “Di Madiun terjadi perlucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig. Berhubung dengan kepergiannya kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintah daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul” (halaman 130).
Bukannya petunjuk dari Pemerintah Pusat yang diterima, tapi pedato Perdana Menteri Hatta di depan sidang Badan Pekerja KNIP menyatakan “Ya, menurut laporan di Madiun terjadi pemberontakan, entah benar entah tidak….bahwa diumumkan negara Uni Soviet dengan mungkin Musso Presidennya dan Perdana Menterinya Amir Sjarifuddin” (halaman 138). Bung Karno dalam pedato radionya 19 September 1948 juga menyatakan: “Di Madiun terjadi kup Pemerintah Soviet, Musso mendirikan Pemerintah Soviet di Madiun”…. Pada hal Pak Musso waktu itu sedang keliling daerah dan berada di luar daerah Madiun dan memang tidak tahu menahu masalah pemerintah itu” (halaman 139).
22 September overste Suharto, yang sesudah peristiwa G30S menjadi Presiden RI, datang ke Madiun sebagai utusan Panglima Besar Sudirman. Dia menyaksikan, bahwa di Madiun tidak terjadi pemberontakan. Suharto mengeluarkan pernyataan: “Keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana yang disiar-siarkan oleh suratkabar-suratkabar di Yogyakarta. Di Madiun tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera palu-arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal” Pernyataan ini disiarkan oleh suratkabar daerah Suara Rakyat Madiun, dan disiarkan di radio Gelora Pemuda Daerah Madiun” (halaman 150). Amir Sjarifuddin menitip surat agar disampaikan Suharto kepada Presiden Sukarno. “Bung Amir menulis surat kepada Presiden Soekarno sekali pun Presiden sudah berpidato supaya membasmi ‘pengacau’. Tetapi karena merasa Bung Karno itu atasannya atau pimpinannya, maka Bung Amir menulis supaya Bung Karno turun tangan untuk mendamaikan situasi. Bung Amir menulis sendiri surat itu” (halaman 151).
Dengan pernyataan Perdana Menteri Hatta dan seruan pembasmian dalam pedato Presiden Sukarno, berlangsunglah pembasmian atas kaum kiri di Madiun. Tak ada jalan lain, kaum kiri harus melakukan bela diri. Berkali-kali Sumarsono menyatakan bahwa yang terjadi bukanlah pemberontakan, tapi perjuangan membela diri dari usaha pembasmian. Puncaknya terbunuh lah Musso dalam suatu pertempuran, dan dihukum tembak-matinya tanpa liwat pengadilan mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Duta Besar luarbiasa Suripno, Ketua CC PKI Sardjono, ketua SOBSI Haryono dan lain-lain di Ngalian pada 19 Desember 1948. Akibat pengejaran dan pembasmian dengan pengerahan pasukan pemerintah adalah terbasminya seluruh pimpinan utama PKI, dan puluhan ribu kader serta anggota PKI dan kaum kiri lainnya. “Membunuhi orang-orang yang anti penjajah, terutama orang-orang komunis itulah pelaksanaan Pertemuan Rahasia di Sarangan ! Itulah hakekat Peristiwa Madiun yang sebenarnya” (halaman 231).
Inilah realisasi the policy of containment, realisasi Doktrin Truman di Asia. Mendahului pembasmian kaum komunis di Asia Timur dengan Perang Korea dan di Asia Tenggara dengan Perang Vietnam, maka dengan Peristiwa Madiun, Indonesia adalah negeri pertama dilanda Perang Dingin di Asia.
******
(Bersambung)
23-2-2009.
RESENSI BUKU
Suar Suroso:
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(3)
III. Tentang kaum sosial demokrat dan Trotskis dalam revolusi Indonesia.
Pak Soemarsono mengenal baik banyak tokoh nasional dalam revolusi Indonesia. Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya. Walaupun mengkritiknya karena pernah menyuarakan politik Hatta dalam Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono memuji Bung Karno sebagai negarawan bijaksana dalam kembali melegalkan PKI. Bahkan sampai akhir hayatnya, Bung Karno tetap setia dengan ajarannya Nasakom dan tak mau membubarkan PKI. Tri-sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan dinilai sangat tinggi. Dan dinyatakan sebagai satu-satunya senjata yang harus dijunjung, demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat kekuasaan rezim orba sekian dasawarsa.
Pak Soemarsono juga mengenal dekat Hatta, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifuddin. Sebagai anggota PKI illegal, kegiatannya jalin berjalin dengan banyak kelompok yang menganut berbagai aliran, terutama aliran sosial demokrat dan Trotskis. Boleh dikatakan, semua tokoh pejuang kemerdekaan nasional Indonesia mendambakan sosialisme. Mulai dari Pak H.O.S.Tjokroaminoto, Haji Agussalim, Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin, Bung Karno, Bung Hatta sampai-sampai Ruslan Abdulgani. Mempelajari sosialisme sebagai ilmu jadi berkembang dengan terbentuknya PKI yang menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi pembimbing. Tapi sosialisme menjadi tabu di bawah kekuasaan rezim orba. Dengan putusan MPRS No XXV tahun 1966, Marxisme dan PKI dinyatakan terlarang di seluruh Indonesia. Bahkan seluruh pimpinan PKI bersama dua juta anggota dan simpatisannya dibantai atau dipenjarakan tanpa liwat pengadilan. Ini terjadi pada saat Perang Dingin yang dikobarkan Amerika untuk membendung komunisme melanda dunia termasuk Indonesia. Perang Dingin membenarkan tindakan orba membasmi kaum kiri, melarang penyebaran Marxisme, melarang PKI. Rontoknya negara-negara sosialis Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Timur membikin burjuasi Indonesia yang komunisto-fobi bergendang paha. Generasi muda Indonesia menjadi buta akan ilmu sosialisme, bahkan menganggap sosialisme sebagai sesuatunya yang tabu.
Lengsernya diktator Suharto dan terjadinya krisis moneter dunia kapitalis membuka mata orang kembali. Orang mulai berpaling lagi kepada sosialisme. Generasi muda mulai mencari-cari ilmu sosialisme. Berkali-kali Pak Soemarsono mengemukakan, bahwa kebebasan untuk mempelajari sosialisme sebagai ilmu dan bebasnya gerakan untuk sosialisme di Indonesia hanya mungkin jika putusan MPRS No XXV 1966 itu dicabut.
Sesudah sekian dasawarsa sosialisme diharamkan di Indonesia, dengan perkembangan baru di dunia, maka berkecamuklah semua warna sosialisme yang ada di dunia. Dalam bukunya, Pak Soemarsono mengedepankan, bahwa dalam sejarah sampai sekarang terdapat tiga macam aliran sosialisme. Aliran sosial-demokrat, komunisme dan aliran Trotskis. Tak ayal lagi, dalam revolusi Indonesia terdapat ketiga aliran ini.
Dipaparkannya, bahwa Sjahrir sebagai tokoh sosial demokrat adalah semenjak berada di Eropa sudah anti-komunis. Menurut Sjahrir, pandangannya mengenai sosialisme adalah mengikuti Marx, tapi tidak menerima Leninisme. Sjahrir menentang diktatur proletariat, menentang negara Uni Sovyet. Mengenai imbangan kekuatan internasional, Sjahrir menyamakan Amerika Serikat dengan Uni Sovyet. Dan ingin membangun kekuatan ketiga. Dalam praktek, Sjahrir mengutamakan jalan diplomasi memenangkan kemerdekaan Indonesia. Liwat perundingan dengan Belanda mau mendapatkan kedaulatan. Maka di bawah pemerintahan Sjahrir terjadilah persetujuan Linggarjati. Dalam perkembangannya, politiknya jadi berseberangan dengan PKI. Maka Sjahrir mendirikan PSI, memisahkan diri dari Partai Sosialis yang dipimpin Bung Amir. Sebagai anggota Internasionale Sosialis yang anti-komunis, PSI dengan tangguh menentang kerjasama dengan PKI. Dalam sidang-sidang Konstituante yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Negara, PSI menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Kemudian bersama Masjumi menjadi kekuatan penyangga pemberontakan PRRI – Permesta, menentang Pemerintah Pusat, mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Dengan tangguh menentang Nasakom, para tokoh PSI berlanjut menjadi salah satu kekuatan pokok mendukung rezim orba dibawah Soeharto.
Pak Soemarsono mengungkapkan pengalamannya dengan kaum Trotskis, pengenalannya pribadi tentang Tan Malaka. Dalam sejarah PKI, Tan Malaka dinyatakan melanggar disiplin Partai karena menentang putusan mengenai pemberontakan tahun 1926. Karena itu dipecat dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di luarnegeri. Kemudian bekerjasama dengan kekuasaan fasis Jepang dan mendirikan Partai Murba. Sesudah RI diproklamirkan, berbagai usaha berlangsung untuk menampilkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai Presiden. Dalam buku Pak Soemarsono dipaparkan peranan kaum Trotskis dalam peristiwa 3 Juli 1946. Inilah peristiwa penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan pengajuan tuntutan untuk mengganti pemerintah dengan menampilkan Tan Malaka. Usaha perebutan kekuasaan ini dapat dipatahkan. Tan Malaka dan sejumlah pendukungnya diadili dan dipenjarakan. Agustus 1948 Pemerintah Hatta membebaskan Tan Malaka dan para pendudukungnya dari penjara. Menjelang meningkatnya konflik-konflik bersenjata, surat kabar Murba aktif mempropagandakan dokumen palsu yang memfitnah FDR akan melakukan perebutan kekuasaan. Pimpinan FDR melaporkan pada pemerintah untuk menindak pemalsuan dokumen FDR itu.
Pak Soemarsono menulis: “Anarkis dengan Trotskis itu adalah saudara sekandung. Kaum anarkis adakalanya seperti kaum nihilis. Tanpa arah, tanpa strategi, tanpa taktik. Hanya menurutkan nafsu amarah. Jalan berpikirnya seperti terobrak-abrik. Mereka adakalanya mengeluarkan teori-teori ‘sosialisme’, adakalanya mendirikan partai kelas buruh, juga mengandalkan kelas buruh, adakalanya agak melecehkan kaum tani. Pada umumnya kaum Trotskis tidak mendasarkan pada kekuatan massa, tapi mengandalkan jago perseorangan yang tampaknya berani, tetapi tanpa perhitungan. Tidak seperti Partai Komunis yang mengorganisasi massa, mengorganisasi buruh, mengorganisasi tani, dan kolektif dan disiplinnya kuat. Disiplin kaum Trotskis longgar, hampir tidak punya disiplin. Saya pernah bersama mereka. Saya melihat, mereka orang per orang tampak jago-jago. Seperti Tan Malaka, sampai mempunyai dubbelganger. Maksudnya, risiko diterima oleh orang yang seperti atau yang menyamar seperti Tan Malaka – tapi bukan Tan Malaka sendiri” (halaman 332).
Sejarah Indonesia mencatat, bahwa penganut aliran Trotskis dengan tokohnya Tan Malaka adalah kekuatan penentang politik Bung Karno. Dalam sidang-sidang Konstituante wakil Partai Murba menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Dengan tangguh menentang Nasakom ajaran Bung Karno. Tidak menentang pemberontakan PRRI-Permesta, hingga Partai Murba dibubarkan. Mengenai Tan Malaka Pak Soemarsono menulis: “Saya bertemu Tan Malaka di Solo, sesudah ada Persatuan Perjuangan. Saya anggap Tan Malaka orang kiri. Tapi kenapa dia bersatu dengan Masyumi, dengan yang anti-kiri, anti-komunis ? Masyumi itu lahir waktu zaman penjajahan Jepang dan tidak bisa disanggah lagi bahwa Masyumi anti-kiri. Mengapa dia dengan Masyumi bisa memusuhi PKI. Pada hal Tan Malaka tahu persis bahwa PKI adalah Partai politik kiri. Secara pribadi, katakanlah ada pertentangan antara Pak Musso dan Tan Malaka, tetapi dalam konsep ‘Kemerdekaan yang seratus persen’ mereka adalah sama” (halaman 333). Anti PKI dan anti-komunis yang menjadi ciri aliran Trotskis Indonesia itu mencapai puncaknya dengan tokohnya jadi pendukung utama rezim fasis orba, sampai menjabat kedudukan Wakil Presiden RI.
Adanya aliran Trotskis bukanlah fenomena khusus Indonesia. Di banyak negeri terdapat aliran ini, dan bahkan secara internasional terdapat Internasionale Trotskis, yaitu Internasionale ke-IV yang giat mengkampanyekan teori Trotski, teori revolusi permanen. Jaringan internet WSWS yang mengabdi pada Internasionale ke-IV, sangat aktif mengkampanyekan teori revolusi permanen Trotski ini. Partai-Partai komunis yang tak sehaluan dengan aliran Trotskis dituding sebagai dikuasai oleh kaum Stalinis. Partai-Partai yang dituduh dipimpin oleh kaum Stalinis adalah Partai Komunis Kuba, Partai Pekerja Korea, Partai Komunis Tiongkok, PKI, Partai Komunis Nepal (Maois) dan lain-lain. Bahkan terpukulnya PKI akibat peristiwa G30S dinyatakan mereka disebabkan oleh kesalahan pimpinan PKI yang Stalinis.
*******
(Bersambung)
24-2-2009
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(3)
III. Tentang kaum sosial demokrat dan Trotskis dalam revolusi Indonesia.
Pak Soemarsono mengenal baik banyak tokoh nasional dalam revolusi Indonesia. Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya. Walaupun mengkritiknya karena pernah menyuarakan politik Hatta dalam Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono memuji Bung Karno sebagai negarawan bijaksana dalam kembali melegalkan PKI. Bahkan sampai akhir hayatnya, Bung Karno tetap setia dengan ajarannya Nasakom dan tak mau membubarkan PKI. Tri-sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan dinilai sangat tinggi. Dan dinyatakan sebagai satu-satunya senjata yang harus dijunjung, demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat kekuasaan rezim orba sekian dasawarsa.
Pak Soemarsono juga mengenal dekat Hatta, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifuddin. Sebagai anggota PKI illegal, kegiatannya jalin berjalin dengan banyak kelompok yang menganut berbagai aliran, terutama aliran sosial demokrat dan Trotskis. Boleh dikatakan, semua tokoh pejuang kemerdekaan nasional Indonesia mendambakan sosialisme. Mulai dari Pak H.O.S.Tjokroaminoto, Haji Agussalim, Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin, Bung Karno, Bung Hatta sampai-sampai Ruslan Abdulgani. Mempelajari sosialisme sebagai ilmu jadi berkembang dengan terbentuknya PKI yang menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi pembimbing. Tapi sosialisme menjadi tabu di bawah kekuasaan rezim orba. Dengan putusan MPRS No XXV tahun 1966, Marxisme dan PKI dinyatakan terlarang di seluruh Indonesia. Bahkan seluruh pimpinan PKI bersama dua juta anggota dan simpatisannya dibantai atau dipenjarakan tanpa liwat pengadilan. Ini terjadi pada saat Perang Dingin yang dikobarkan Amerika untuk membendung komunisme melanda dunia termasuk Indonesia. Perang Dingin membenarkan tindakan orba membasmi kaum kiri, melarang penyebaran Marxisme, melarang PKI. Rontoknya negara-negara sosialis Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Timur membikin burjuasi Indonesia yang komunisto-fobi bergendang paha. Generasi muda Indonesia menjadi buta akan ilmu sosialisme, bahkan menganggap sosialisme sebagai sesuatunya yang tabu.
Lengsernya diktator Suharto dan terjadinya krisis moneter dunia kapitalis membuka mata orang kembali. Orang mulai berpaling lagi kepada sosialisme. Generasi muda mulai mencari-cari ilmu sosialisme. Berkali-kali Pak Soemarsono mengemukakan, bahwa kebebasan untuk mempelajari sosialisme sebagai ilmu dan bebasnya gerakan untuk sosialisme di Indonesia hanya mungkin jika putusan MPRS No XXV 1966 itu dicabut.
Sesudah sekian dasawarsa sosialisme diharamkan di Indonesia, dengan perkembangan baru di dunia, maka berkecamuklah semua warna sosialisme yang ada di dunia. Dalam bukunya, Pak Soemarsono mengedepankan, bahwa dalam sejarah sampai sekarang terdapat tiga macam aliran sosialisme. Aliran sosial-demokrat, komunisme dan aliran Trotskis. Tak ayal lagi, dalam revolusi Indonesia terdapat ketiga aliran ini.
Dipaparkannya, bahwa Sjahrir sebagai tokoh sosial demokrat adalah semenjak berada di Eropa sudah anti-komunis. Menurut Sjahrir, pandangannya mengenai sosialisme adalah mengikuti Marx, tapi tidak menerima Leninisme. Sjahrir menentang diktatur proletariat, menentang negara Uni Sovyet. Mengenai imbangan kekuatan internasional, Sjahrir menyamakan Amerika Serikat dengan Uni Sovyet. Dan ingin membangun kekuatan ketiga. Dalam praktek, Sjahrir mengutamakan jalan diplomasi memenangkan kemerdekaan Indonesia. Liwat perundingan dengan Belanda mau mendapatkan kedaulatan. Maka di bawah pemerintahan Sjahrir terjadilah persetujuan Linggarjati. Dalam perkembangannya, politiknya jadi berseberangan dengan PKI. Maka Sjahrir mendirikan PSI, memisahkan diri dari Partai Sosialis yang dipimpin Bung Amir. Sebagai anggota Internasionale Sosialis yang anti-komunis, PSI dengan tangguh menentang kerjasama dengan PKI. Dalam sidang-sidang Konstituante yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Negara, PSI menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Kemudian bersama Masjumi menjadi kekuatan penyangga pemberontakan PRRI – Permesta, menentang Pemerintah Pusat, mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Dengan tangguh menentang Nasakom, para tokoh PSI berlanjut menjadi salah satu kekuatan pokok mendukung rezim orba dibawah Soeharto.
Pak Soemarsono mengungkapkan pengalamannya dengan kaum Trotskis, pengenalannya pribadi tentang Tan Malaka. Dalam sejarah PKI, Tan Malaka dinyatakan melanggar disiplin Partai karena menentang putusan mengenai pemberontakan tahun 1926. Karena itu dipecat dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di luarnegeri. Kemudian bekerjasama dengan kekuasaan fasis Jepang dan mendirikan Partai Murba. Sesudah RI diproklamirkan, berbagai usaha berlangsung untuk menampilkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai Presiden. Dalam buku Pak Soemarsono dipaparkan peranan kaum Trotskis dalam peristiwa 3 Juli 1946. Inilah peristiwa penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan pengajuan tuntutan untuk mengganti pemerintah dengan menampilkan Tan Malaka. Usaha perebutan kekuasaan ini dapat dipatahkan. Tan Malaka dan sejumlah pendukungnya diadili dan dipenjarakan. Agustus 1948 Pemerintah Hatta membebaskan Tan Malaka dan para pendudukungnya dari penjara. Menjelang meningkatnya konflik-konflik bersenjata, surat kabar Murba aktif mempropagandakan dokumen palsu yang memfitnah FDR akan melakukan perebutan kekuasaan. Pimpinan FDR melaporkan pada pemerintah untuk menindak pemalsuan dokumen FDR itu.
Pak Soemarsono menulis: “Anarkis dengan Trotskis itu adalah saudara sekandung. Kaum anarkis adakalanya seperti kaum nihilis. Tanpa arah, tanpa strategi, tanpa taktik. Hanya menurutkan nafsu amarah. Jalan berpikirnya seperti terobrak-abrik. Mereka adakalanya mengeluarkan teori-teori ‘sosialisme’, adakalanya mendirikan partai kelas buruh, juga mengandalkan kelas buruh, adakalanya agak melecehkan kaum tani. Pada umumnya kaum Trotskis tidak mendasarkan pada kekuatan massa, tapi mengandalkan jago perseorangan yang tampaknya berani, tetapi tanpa perhitungan. Tidak seperti Partai Komunis yang mengorganisasi massa, mengorganisasi buruh, mengorganisasi tani, dan kolektif dan disiplinnya kuat. Disiplin kaum Trotskis longgar, hampir tidak punya disiplin. Saya pernah bersama mereka. Saya melihat, mereka orang per orang tampak jago-jago. Seperti Tan Malaka, sampai mempunyai dubbelganger. Maksudnya, risiko diterima oleh orang yang seperti atau yang menyamar seperti Tan Malaka – tapi bukan Tan Malaka sendiri” (halaman 332).
Sejarah Indonesia mencatat, bahwa penganut aliran Trotskis dengan tokohnya Tan Malaka adalah kekuatan penentang politik Bung Karno. Dalam sidang-sidang Konstituante wakil Partai Murba menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Dengan tangguh menentang Nasakom ajaran Bung Karno. Tidak menentang pemberontakan PRRI-Permesta, hingga Partai Murba dibubarkan. Mengenai Tan Malaka Pak Soemarsono menulis: “Saya bertemu Tan Malaka di Solo, sesudah ada Persatuan Perjuangan. Saya anggap Tan Malaka orang kiri. Tapi kenapa dia bersatu dengan Masyumi, dengan yang anti-kiri, anti-komunis ? Masyumi itu lahir waktu zaman penjajahan Jepang dan tidak bisa disanggah lagi bahwa Masyumi anti-kiri. Mengapa dia dengan Masyumi bisa memusuhi PKI. Pada hal Tan Malaka tahu persis bahwa PKI adalah Partai politik kiri. Secara pribadi, katakanlah ada pertentangan antara Pak Musso dan Tan Malaka, tetapi dalam konsep ‘Kemerdekaan yang seratus persen’ mereka adalah sama” (halaman 333). Anti PKI dan anti-komunis yang menjadi ciri aliran Trotskis Indonesia itu mencapai puncaknya dengan tokohnya jadi pendukung utama rezim fasis orba, sampai menjabat kedudukan Wakil Presiden RI.
Adanya aliran Trotskis bukanlah fenomena khusus Indonesia. Di banyak negeri terdapat aliran ini, dan bahkan secara internasional terdapat Internasionale Trotskis, yaitu Internasionale ke-IV yang giat mengkampanyekan teori Trotski, teori revolusi permanen. Jaringan internet WSWS yang mengabdi pada Internasionale ke-IV, sangat aktif mengkampanyekan teori revolusi permanen Trotski ini. Partai-Partai komunis yang tak sehaluan dengan aliran Trotskis dituding sebagai dikuasai oleh kaum Stalinis. Partai-Partai yang dituduh dipimpin oleh kaum Stalinis adalah Partai Komunis Kuba, Partai Pekerja Korea, Partai Komunis Tiongkok, PKI, Partai Komunis Nepal (Maois) dan lain-lain. Bahkan terpukulnya PKI akibat peristiwa G30S dinyatakan mereka disebabkan oleh kesalahan pimpinan PKI yang Stalinis.
*******
(Bersambung)
24-2-2009
RESENSI BUKU
Suar Suroso:
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(4)
IV. Membela PKI.
Penggulingan Bung Karno dan pembasmian kaum kiri telah menjadi halaman gelap dalam sejarah bangsa Indonesia. G30S adalah pangkal perobahan drastis sejarah ini. Bung Karno menilai, salah satu sebab kejadian itu adalah karena keblingernya pimpinan PKI. Dalam bukunya, Pak Soemarsono dengan teguh membela PKI. Dia menulis bahwa “Soal keblinger itu tidak bisa diinterpretasikan bahwa Aidit tidak terlibat karena ada skenario mendahului Dewan Jenderal. Aidit percaya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, itu D-day nya. Kejadiannya pada akhir September atau permulaan Oktober 1965, jadi itu memang mendahului kan ? Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit orang dan PKI itu organisasi. Bagaimana bisa disamakan orang dengan organisasi. Bukan kita tidak menyalahkan Aidit dalam hal ini, tapi yang kita kemukakan “Kenapa Aidit dan juga Lukman serta Njoto tidak diperiksa ? Mengapa dihilangkan begitu saja ? Ini yang tidak
dapat dimengerti. Kenapa mereka takut memeriksa Aidit ?”
Soal bagaimana membela partai, Sidartojo sudah mempraktekkannya. Dia diperiksa oleh Teperpu. Ia bilang, “PKI tidak terlibat. Saya anggota Comite Central dan Sekretariat CC PKI. Saya tidak tahu menahu ! PKI tidak terlibat !” (halaman 251).
Pak Soemarsono menulis: “Selama sembilan tahun di penjara Salemba, Jakarta, saya bertemu dan bergaul dengan banyak pemimpin top PKI, anggota CC, anggota Komisi Verifikasi Central dan lainnya. Terasa aneh bahwa mereka tidak tahu tentang Peristiwa G30S. Umpamanya Sidartojo dari Sekretariat CC yang juga dipenjara di Salemba, Ismail Bakri dari Comite Daerah Besar Provinsi Jawa Barat. Mereka mengatakan bahwa PKI secara organisasi, konstitusional tidak terlibat. Karena benar-benar memang tidak tahu permasalahannya. Sebab masalah itu sebenarnya masalah Biro Chusus (BC)….. Tapi peranan yang lebih menentukan sebenarnya ada di tangan Sjam Kamaruzzaman”.
“Jadi PKI secara konstitusional tidak terlibat. Yang terlibat itu BC yang bikin Dewan Revolusi dan yang waktu itu melakukan kegiatan aktif G30S”. “Keterangan dari teman-teman yang saya temui di Penjara Salemba, akhirnya dapat meyakinkan saya bahwa Suharto juga dihubungi BC. Ternyata hubungan yang ada itu dia gunakan untuk membasmi PKI. Ada saksi-saksinya yang masih hidup” (halaman 252)
Pak Soemarsono menulis: “Kami sudah lama tahu memang Sjam Kamaruzzaman seorang mayor intel. Itu saksinya bukan hanya satu-dua orang saja, bahwa dia dulu di Kementerian Pertahanan bersama Abdul Haris Nasution dan menjadi perwira intelnya. Sjam Kamaruzzaman ini yang menjadi Kepala Biro Chusus. Kalau resminya Kepala Biro Chusus secara politis adalah Aidit, tapi praktis yang melaksanakannya adalah Sjam Kamaruzzaman. Yang bertugas menghubungkan Suharto dengan Biro Chusus adalah Sjam Kamaruzzaman. Jadi orang dulu berpikiran bahwa itu tidak masuk akal. Tapi kenyataannya Suharto yang membasmi PKI” (halaman 253).
Menurut Pak Soemarsono, “tidak bisa dipungkiri lagi Sjam Kamaruzzaman yang mengkhianati dan membuka. Dia tadinya berbuat untuk BC, BC resminya adalah Aidit. Sjam Kamaruzzaman bertindak untuk menumpas PKI melalui Biro Chusus. Sjam Kamaruzzaman bukan double agent saja, barangkali triple agent juga bisa. Dia itu juga berhubungan langsung dengan intel asing” (halaman 254)
Dalam perbandingan dengan korban tewas dalam Peristiwa Madiun, mengenai korban teror sesudah terjadinya G30S, Pak Soemarsono menulis: “Menurut Fact Finding Commission, dua kali jumlah yang dikemukakan oleh Bung Karno. Mendekati 1,5 juta orang pada waktu itu, yang belakangan tambah lagi. Dibunuhi tanpa pengadilan, tanpa proses hukum. Termasuk Aidit, Loekman, dan Njoto, serta Sakirman. Lebih 100 kali lipat dari jumlah korban Peristiwa Madiun yang ‘cuma’ 10.000 orang tewas.
Karena yang menjadi korban pembantaian terutama orang-orang merah, saya juga menyebut Peristiwa G30S Red Drive! Sama yang terjadi di Madiun, yang terjadi di Suliki maupun Situjuh di Sumatra Barat, selama ini ada sebutan Teror Putih Pertama – Madiun, Teror Putih Kedua – Suliki/Situjuh oleh PRRI dan Teror Putih Ketiga – G30S. Artinya saya juga menyebutnya: Red Drive Kesatu, Red Drive Kedua dan Red Drive Ketiga.
Kapan berhentinya Red Drive itu ? Selagi masih ada anti-komunis yang fanatik, selama masih ada kekuasaan yang anti-kiri, Red Drive itu masih tetap akan menjadi ancaman buat kita, kaum pergerakan. Bung Karno bilang: Saya Nasionalis Kiri ! Bung Karno termasuk Kiri, karena itu ia mati dalam tahanan Suharto !” (halaman 255).
Dalam bukunya ini Pak Soemarsono berkali-kali mengkritik putusan MPRS No XXV 1966. Pemerintah yang mempertahankan putusan MPRS No XXV 1966 itu jelas adalah kekuasaan yang anti-kiri. Sekarang ini, ancaman terhadap kaum kiri itu adalah kenyataan dengan masih berlakunya putusan MPRS No XXV 1966, pelarangan atas Marxisme dan PKI di seluruh Indonesia. Kaum kiri Indonesia berada dalam ancaman dapat ditindak, dihukum, dipenjarakan dengan berlakunya putusan MPRS yang anti-komunis, anti-demokrasi ini. Sesungguhnya, MPRS yang menetapkan putusan No XXV 1966 ini adalah anti atau melanggar Undang-Undang Dasar, karena susunannya sudah dikebiri dengan dikeluarkannya semua wakil PKI dan pendukung Bung Karno. Perjuangan untuk mencabut putusan yang anti Undang Undang Dasar ini merupakan perjuangan demi kebebasan kaum kiri, demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Pak Soemarsono adalah seorang yang optimis. Optimismenya diungkapkan dalam bentuk keyakinan akan hukum perkembangan masyarakat. “Orang politik pertama-tama harus kritis dan belajar ilmu hukum perkembangan masyarakat. Perkembangan itu kekal, yang kemarin digantikan yang sekarang, perubahan itu absolut seperti juga pertentangan. Karena ada pertentangan yang absolut maka ada perobahan absolut. Menurut hukumnya, yang lama dikalahkan oleh yang baru, kuantitas ke kualitas. Tak usah takut karena kalau kini kecil, sebab walaupun kecil kalau itu kualitas, nantinya bisa berkembang. Pada 1948 PKI hancur, pada 1950 masih kecil, tapi pada 1955 menjadi begitu besarnya. Bahwa hancur kembali pada 1965, ini adalah kemauan sejarah. Maka belajarlah pada sejarah” (Halaman 261).
Pak Soemarsono menekankan pentingnya arti ideologi. Ditulisnya: “Orang politik tentunya harus punya ideologi. Kalau orang politik tujuannya cuma jabatan ingin jadi menteri, lalu menjadi kutu loncat demi jabatan, demi kedudukan yang enak, itu bukan leader. Memang dia dianggap pembesar, itu boleh saja. Tapi leader suatu pergerakan musti orang yang berideologi. Ideologi itu apa ? Ideologi itu pada dasarnya kemauan. Aku mau mati untuk cita-citaku. Cita-citaku apa ? Mengabdi rakyat ! Mengabdi perjuangan” (Idem).
Mengenai agama dan materialisme dialektik, Pak Soemarsono menulis: “Saya orang Kristen. Tadinya saya beragama Islam. Saya menjadi Kristen karena mengikuti agama isteri saya yang berayahkan seorang pendeta beragama Nasrani. Bagi saya apakah Kristen, apakah Islam atau Buddha, ini suatu plus, suatu kelebihan. Menurut saya anggota Partai komunis yang berideologi komunis dengan pedoman filsafat MDH – Materialisme Dialektik dan Histori – tidak mesti atheis. Atheisme juga satu kepercayaan. Theis juga kepercayaan. Di dalam UUD 45 kedua-duanya disejajarkan.
Mengenai agama, Pak Musso – kurang atheis apa – tokh dia katakan, menurut teorinya, kita ini berideologi kerakyatan, artinya yang kita junjung itu rakyat. Agama masih menjadi milik rakyat, sebab rakyat tidak seperti kita yang ada kalanya dikatakan maju. Untuk bisa menjadi atheis, seseorang memerlukan syarat-syarat keilmuan. Jadi kalau rakyat kita di desa-desa itu masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan, jangankan agama, hantu saja juga mereka masih percaya, masih percaya gugon-tuhon – kepercayaan animisme. Karena itu milik rakyat maka kita harus membelanya. Dan untuk menghapusnya, berilah mereka pendidikan ilmu, nanti ia akan hilang sendiri. Kalau mereka umpamanya tidak suka agama, nanti agama itu akan hilang sendiri, tapi jangan dipaksa, jangan dimusuhi” (halaman 266)
Pak Soemarsono menganjurkan pentingnya belajar karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi. Ditulisnya: “Semua peristiwa berkembang karena kontradiksi. Kita harus mencermati dan mempelajarinya. … Untuk mempelajari lebih mendalam tentang kontradiksi kita harus membaca karya Mao Zedong, On Contradiction – Tentang Kontradiksi. Seorang jenderal Inggeris menyimpulkan, Mao Zedong luar biasa hebatnya. Dia bisa mengomandoi kekuatan musuh.” (Halaman 288). Memang, mempelajari dan memahami karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi adalah sangat penting. Hukum kontradiksi adalah inti dari dialektika materialis. Dengan mentrapkan hukum kontradiksi, hal ihwal yang rumit bisa jadi sederhana. Dengan mengenal kontradiksi pokok dapat dicengkam hal yang harus pertama diselesaikan. Dengan memahami segi pokok kontradiksi dapat diketahui arah perkembangan suatu hal ihwal. Untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat dalam organisasi sangat diperlukan penguasaan atas hukum
kontradiksi. Penyelesaian kontradiksi dengan tepat bisa mencegah terjadinya kontradiksi antagonistik, bisa mencegah perpecahan-perpecahan yang tak perlu dalam organisasi. Justru untuk membangun dan mempertahankan persatuan, diperlukan penguasaan akan hukum kontradiksi. Untuk persatuan, harus dicegah berobahnya suatu kontradiksi menjadi kontradiksi antagonistik
Dalam berbagai kesempatan dalam bukunya ini, Pak Soemarsono mengemukakan “Pandangan kita musti benar, mana musuh, mana kawan. Itu musti jelas” (Halaman 345). Ini berarti pentingnya membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebenarnya, ini adalah ajaran Mao Zedong, adalah kalimat pertama, jilid pertama Pilihan Karyanya. Lengkapnya berbunyi: “Siapa musuh kita? Siapa sahabat kita? Masalah ini adalah masalah yang nomor satu pentingnya bagi revolusi”. (Pilihan Karja Mao Tjetung, djilid I, Pustaka Bahasa Asing, Peking 1957, hal. 13). Sampai sekarang, sulitnya menggalang persatuan dan terjadinya perpecahan-perpecahan dalam barisan kaum kiri, pada pokoknya disebabkan oleh tidak dicengkamnya ajaran Mao Zedong ini. Tidak jelas mengenai kawan dan lawan. Saling menyalahkan, dan gampang menjadikan perbedaan antara kawan jadi perbedaan dengan lawan. Kawan dirobah jadi lawan, kekuatan kian tercerai berai, musuh kian bertambah banyak. Oleh karena itu, memahami
ungkapan Pak Soemarsono ini adalah sangat penting.
Mengenai Otokritik Politbiro (OKPB) Pak Soemarsono menulis, bahwa OKPB dibuat di Indonesia sendiri. Sebagian dari bahan OKPB diambil dari kritik kami, yaitu dari Sidartojo, Ismail Bakri, Soemarsono. Mereka yang tampil di depan.Lalu ada Achmad Sumadi, Tjoo Tik Tjoen, Djokosoedjono juga ikut. OKPB dilakukan sesudah Peristiwa 30 September 1965, tetapi sebelum pecah G30S telah muncul kritik-kritik cukup panjang lebar waktu itu. Sidartojo yang menyusun kritik kami ….Bidang ideologi, moral dan teori. Bidang organisasi termasuk demokrasi sentralisme. Lalu juga tesis: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia – MIRI, Partai Kader dan Partai Massa Sekaligus, MKTBP. Semua dikritik. Jadi OKPB bukan disusun di Peking. Itu disimpulkan oleh Soedisman dan sebagian dari kritik kami” (Halaman 312).
Dalam bukunya ini, Pak Soemarsono membeberkan banyak hal penting menyangkut PKI, termasuk masalah pengkhianatan-pengkhianatan, kritik-kritik yang tajam terhadap sikap DN Aidit setelah jadi pemimpin tetapi pujian tinggi baginya sebagai seorang pejuang, hingga Pak Soemarsono siap mengusulkan DN Aidit menjadi Ketua Partai pada saat membangun kembali Partai sesudah Peristiwa Madiun, perbedaan pendapatnya dengan Pak Alimin, masalah pemahaman dari titik menjadi bidang, yaitu pemahaman ibaratkan sepercik bunga api yang bisa membakar padang lalang yang luas, gerakan massa yang meluas itulah yang mencerminkan gerakan rakyat dari bawah, tentang masalah jalan yang harus ditempuh untuk membangun kembali PKI dengan mengutamakan pembangunan ideologi, tentang masalah sentralisme demokratis, tentang perbedaan dengan Hasan Raid mengenai Peristiwa Madiun, tentang lijst Stikker – daftar orang-orang yang harus dibasmi termasuk Soemarsono……..dan banyak lainnya.
Kritik-kritik Pak Soemarsono terhadap pimpinan PKI ini tajam-tajam, buka kulit tampak isi. Tapi semuanya ini adalah dalam sikap dan pendirian demi membela PKI.
*******
(Bersambung)
24 Februari 2009.
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(4)
IV. Membela PKI.
Penggulingan Bung Karno dan pembasmian kaum kiri telah menjadi halaman gelap dalam sejarah bangsa Indonesia. G30S adalah pangkal perobahan drastis sejarah ini. Bung Karno menilai, salah satu sebab kejadian itu adalah karena keblingernya pimpinan PKI. Dalam bukunya, Pak Soemarsono dengan teguh membela PKI. Dia menulis bahwa “Soal keblinger itu tidak bisa diinterpretasikan bahwa Aidit tidak terlibat karena ada skenario mendahului Dewan Jenderal. Aidit percaya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, itu D-day nya. Kejadiannya pada akhir September atau permulaan Oktober 1965, jadi itu memang mendahului kan ? Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit orang dan PKI itu organisasi. Bagaimana bisa disamakan orang dengan organisasi. Bukan kita tidak menyalahkan Aidit dalam hal ini, tapi yang kita kemukakan “Kenapa Aidit dan juga Lukman serta Njoto tidak diperiksa ? Mengapa dihilangkan begitu saja ? Ini yang tidak
dapat dimengerti. Kenapa mereka takut memeriksa Aidit ?”
Soal bagaimana membela partai, Sidartojo sudah mempraktekkannya. Dia diperiksa oleh Teperpu. Ia bilang, “PKI tidak terlibat. Saya anggota Comite Central dan Sekretariat CC PKI. Saya tidak tahu menahu ! PKI tidak terlibat !” (halaman 251).
Pak Soemarsono menulis: “Selama sembilan tahun di penjara Salemba, Jakarta, saya bertemu dan bergaul dengan banyak pemimpin top PKI, anggota CC, anggota Komisi Verifikasi Central dan lainnya. Terasa aneh bahwa mereka tidak tahu tentang Peristiwa G30S. Umpamanya Sidartojo dari Sekretariat CC yang juga dipenjara di Salemba, Ismail Bakri dari Comite Daerah Besar Provinsi Jawa Barat. Mereka mengatakan bahwa PKI secara organisasi, konstitusional tidak terlibat. Karena benar-benar memang tidak tahu permasalahannya. Sebab masalah itu sebenarnya masalah Biro Chusus (BC)….. Tapi peranan yang lebih menentukan sebenarnya ada di tangan Sjam Kamaruzzaman”.
“Jadi PKI secara konstitusional tidak terlibat. Yang terlibat itu BC yang bikin Dewan Revolusi dan yang waktu itu melakukan kegiatan aktif G30S”. “Keterangan dari teman-teman yang saya temui di Penjara Salemba, akhirnya dapat meyakinkan saya bahwa Suharto juga dihubungi BC. Ternyata hubungan yang ada itu dia gunakan untuk membasmi PKI. Ada saksi-saksinya yang masih hidup” (halaman 252)
Pak Soemarsono menulis: “Kami sudah lama tahu memang Sjam Kamaruzzaman seorang mayor intel. Itu saksinya bukan hanya satu-dua orang saja, bahwa dia dulu di Kementerian Pertahanan bersama Abdul Haris Nasution dan menjadi perwira intelnya. Sjam Kamaruzzaman ini yang menjadi Kepala Biro Chusus. Kalau resminya Kepala Biro Chusus secara politis adalah Aidit, tapi praktis yang melaksanakannya adalah Sjam Kamaruzzaman. Yang bertugas menghubungkan Suharto dengan Biro Chusus adalah Sjam Kamaruzzaman. Jadi orang dulu berpikiran bahwa itu tidak masuk akal. Tapi kenyataannya Suharto yang membasmi PKI” (halaman 253).
Menurut Pak Soemarsono, “tidak bisa dipungkiri lagi Sjam Kamaruzzaman yang mengkhianati dan membuka. Dia tadinya berbuat untuk BC, BC resminya adalah Aidit. Sjam Kamaruzzaman bertindak untuk menumpas PKI melalui Biro Chusus. Sjam Kamaruzzaman bukan double agent saja, barangkali triple agent juga bisa. Dia itu juga berhubungan langsung dengan intel asing” (halaman 254)
Dalam perbandingan dengan korban tewas dalam Peristiwa Madiun, mengenai korban teror sesudah terjadinya G30S, Pak Soemarsono menulis: “Menurut Fact Finding Commission, dua kali jumlah yang dikemukakan oleh Bung Karno. Mendekati 1,5 juta orang pada waktu itu, yang belakangan tambah lagi. Dibunuhi tanpa pengadilan, tanpa proses hukum. Termasuk Aidit, Loekman, dan Njoto, serta Sakirman. Lebih 100 kali lipat dari jumlah korban Peristiwa Madiun yang ‘cuma’ 10.000 orang tewas.
Karena yang menjadi korban pembantaian terutama orang-orang merah, saya juga menyebut Peristiwa G30S Red Drive! Sama yang terjadi di Madiun, yang terjadi di Suliki maupun Situjuh di Sumatra Barat, selama ini ada sebutan Teror Putih Pertama – Madiun, Teror Putih Kedua – Suliki/Situjuh oleh PRRI dan Teror Putih Ketiga – G30S. Artinya saya juga menyebutnya: Red Drive Kesatu, Red Drive Kedua dan Red Drive Ketiga.
Kapan berhentinya Red Drive itu ? Selagi masih ada anti-komunis yang fanatik, selama masih ada kekuasaan yang anti-kiri, Red Drive itu masih tetap akan menjadi ancaman buat kita, kaum pergerakan. Bung Karno bilang: Saya Nasionalis Kiri ! Bung Karno termasuk Kiri, karena itu ia mati dalam tahanan Suharto !” (halaman 255).
Dalam bukunya ini Pak Soemarsono berkali-kali mengkritik putusan MPRS No XXV 1966. Pemerintah yang mempertahankan putusan MPRS No XXV 1966 itu jelas adalah kekuasaan yang anti-kiri. Sekarang ini, ancaman terhadap kaum kiri itu adalah kenyataan dengan masih berlakunya putusan MPRS No XXV 1966, pelarangan atas Marxisme dan PKI di seluruh Indonesia. Kaum kiri Indonesia berada dalam ancaman dapat ditindak, dihukum, dipenjarakan dengan berlakunya putusan MPRS yang anti-komunis, anti-demokrasi ini. Sesungguhnya, MPRS yang menetapkan putusan No XXV 1966 ini adalah anti atau melanggar Undang-Undang Dasar, karena susunannya sudah dikebiri dengan dikeluarkannya semua wakil PKI dan pendukung Bung Karno. Perjuangan untuk mencabut putusan yang anti Undang Undang Dasar ini merupakan perjuangan demi kebebasan kaum kiri, demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Pak Soemarsono adalah seorang yang optimis. Optimismenya diungkapkan dalam bentuk keyakinan akan hukum perkembangan masyarakat. “Orang politik pertama-tama harus kritis dan belajar ilmu hukum perkembangan masyarakat. Perkembangan itu kekal, yang kemarin digantikan yang sekarang, perubahan itu absolut seperti juga pertentangan. Karena ada pertentangan yang absolut maka ada perobahan absolut. Menurut hukumnya, yang lama dikalahkan oleh yang baru, kuantitas ke kualitas. Tak usah takut karena kalau kini kecil, sebab walaupun kecil kalau itu kualitas, nantinya bisa berkembang. Pada 1948 PKI hancur, pada 1950 masih kecil, tapi pada 1955 menjadi begitu besarnya. Bahwa hancur kembali pada 1965, ini adalah kemauan sejarah. Maka belajarlah pada sejarah” (Halaman 261).
Pak Soemarsono menekankan pentingnya arti ideologi. Ditulisnya: “Orang politik tentunya harus punya ideologi. Kalau orang politik tujuannya cuma jabatan ingin jadi menteri, lalu menjadi kutu loncat demi jabatan, demi kedudukan yang enak, itu bukan leader. Memang dia dianggap pembesar, itu boleh saja. Tapi leader suatu pergerakan musti orang yang berideologi. Ideologi itu apa ? Ideologi itu pada dasarnya kemauan. Aku mau mati untuk cita-citaku. Cita-citaku apa ? Mengabdi rakyat ! Mengabdi perjuangan” (Idem).
Mengenai agama dan materialisme dialektik, Pak Soemarsono menulis: “Saya orang Kristen. Tadinya saya beragama Islam. Saya menjadi Kristen karena mengikuti agama isteri saya yang berayahkan seorang pendeta beragama Nasrani. Bagi saya apakah Kristen, apakah Islam atau Buddha, ini suatu plus, suatu kelebihan. Menurut saya anggota Partai komunis yang berideologi komunis dengan pedoman filsafat MDH – Materialisme Dialektik dan Histori – tidak mesti atheis. Atheisme juga satu kepercayaan. Theis juga kepercayaan. Di dalam UUD 45 kedua-duanya disejajarkan.
Mengenai agama, Pak Musso – kurang atheis apa – tokh dia katakan, menurut teorinya, kita ini berideologi kerakyatan, artinya yang kita junjung itu rakyat. Agama masih menjadi milik rakyat, sebab rakyat tidak seperti kita yang ada kalanya dikatakan maju. Untuk bisa menjadi atheis, seseorang memerlukan syarat-syarat keilmuan. Jadi kalau rakyat kita di desa-desa itu masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan, jangankan agama, hantu saja juga mereka masih percaya, masih percaya gugon-tuhon – kepercayaan animisme. Karena itu milik rakyat maka kita harus membelanya. Dan untuk menghapusnya, berilah mereka pendidikan ilmu, nanti ia akan hilang sendiri. Kalau mereka umpamanya tidak suka agama, nanti agama itu akan hilang sendiri, tapi jangan dipaksa, jangan dimusuhi” (halaman 266)
Pak Soemarsono menganjurkan pentingnya belajar karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi. Ditulisnya: “Semua peristiwa berkembang karena kontradiksi. Kita harus mencermati dan mempelajarinya. … Untuk mempelajari lebih mendalam tentang kontradiksi kita harus membaca karya Mao Zedong, On Contradiction – Tentang Kontradiksi. Seorang jenderal Inggeris menyimpulkan, Mao Zedong luar biasa hebatnya. Dia bisa mengomandoi kekuatan musuh.” (Halaman 288). Memang, mempelajari dan memahami karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi adalah sangat penting. Hukum kontradiksi adalah inti dari dialektika materialis. Dengan mentrapkan hukum kontradiksi, hal ihwal yang rumit bisa jadi sederhana. Dengan mengenal kontradiksi pokok dapat dicengkam hal yang harus pertama diselesaikan. Dengan memahami segi pokok kontradiksi dapat diketahui arah perkembangan suatu hal ihwal. Untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat dalam organisasi sangat diperlukan penguasaan atas hukum
kontradiksi. Penyelesaian kontradiksi dengan tepat bisa mencegah terjadinya kontradiksi antagonistik, bisa mencegah perpecahan-perpecahan yang tak perlu dalam organisasi. Justru untuk membangun dan mempertahankan persatuan, diperlukan penguasaan akan hukum kontradiksi. Untuk persatuan, harus dicegah berobahnya suatu kontradiksi menjadi kontradiksi antagonistik
Dalam berbagai kesempatan dalam bukunya ini, Pak Soemarsono mengemukakan “Pandangan kita musti benar, mana musuh, mana kawan. Itu musti jelas” (Halaman 345). Ini berarti pentingnya membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebenarnya, ini adalah ajaran Mao Zedong, adalah kalimat pertama, jilid pertama Pilihan Karyanya. Lengkapnya berbunyi: “Siapa musuh kita? Siapa sahabat kita? Masalah ini adalah masalah yang nomor satu pentingnya bagi revolusi”. (Pilihan Karja Mao Tjetung, djilid I, Pustaka Bahasa Asing, Peking 1957, hal. 13). Sampai sekarang, sulitnya menggalang persatuan dan terjadinya perpecahan-perpecahan dalam barisan kaum kiri, pada pokoknya disebabkan oleh tidak dicengkamnya ajaran Mao Zedong ini. Tidak jelas mengenai kawan dan lawan. Saling menyalahkan, dan gampang menjadikan perbedaan antara kawan jadi perbedaan dengan lawan. Kawan dirobah jadi lawan, kekuatan kian tercerai berai, musuh kian bertambah banyak. Oleh karena itu, memahami
ungkapan Pak Soemarsono ini adalah sangat penting.
Mengenai Otokritik Politbiro (OKPB) Pak Soemarsono menulis, bahwa OKPB dibuat di Indonesia sendiri. Sebagian dari bahan OKPB diambil dari kritik kami, yaitu dari Sidartojo, Ismail Bakri, Soemarsono. Mereka yang tampil di depan.Lalu ada Achmad Sumadi, Tjoo Tik Tjoen, Djokosoedjono juga ikut. OKPB dilakukan sesudah Peristiwa 30 September 1965, tetapi sebelum pecah G30S telah muncul kritik-kritik cukup panjang lebar waktu itu. Sidartojo yang menyusun kritik kami ….Bidang ideologi, moral dan teori. Bidang organisasi termasuk demokrasi sentralisme. Lalu juga tesis: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia – MIRI, Partai Kader dan Partai Massa Sekaligus, MKTBP. Semua dikritik. Jadi OKPB bukan disusun di Peking. Itu disimpulkan oleh Soedisman dan sebagian dari kritik kami” (Halaman 312).
Dalam bukunya ini, Pak Soemarsono membeberkan banyak hal penting menyangkut PKI, termasuk masalah pengkhianatan-pengkhianatan, kritik-kritik yang tajam terhadap sikap DN Aidit setelah jadi pemimpin tetapi pujian tinggi baginya sebagai seorang pejuang, hingga Pak Soemarsono siap mengusulkan DN Aidit menjadi Ketua Partai pada saat membangun kembali Partai sesudah Peristiwa Madiun, perbedaan pendapatnya dengan Pak Alimin, masalah pemahaman dari titik menjadi bidang, yaitu pemahaman ibaratkan sepercik bunga api yang bisa membakar padang lalang yang luas, gerakan massa yang meluas itulah yang mencerminkan gerakan rakyat dari bawah, tentang masalah jalan yang harus ditempuh untuk membangun kembali PKI dengan mengutamakan pembangunan ideologi, tentang masalah sentralisme demokratis, tentang perbedaan dengan Hasan Raid mengenai Peristiwa Madiun, tentang lijst Stikker – daftar orang-orang yang harus dibasmi termasuk Soemarsono……..dan banyak lainnya.
Kritik-kritik Pak Soemarsono terhadap pimpinan PKI ini tajam-tajam, buka kulit tampak isi. Tapi semuanya ini adalah dalam sikap dan pendirian demi membela PKI.
*******
(Bersambung)
24 Februari 2009.
RESENSI BUKU
Suar Suroso:
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(5)
V. Junjung tinggi Trisakti Bung Karno.
Pak Soemarsono berpendapat: Mengenai jalan keluar bagi situasi Indonesia yang masih negeri tergantung, sekalipun itu dengan istilah lain, developing country, negeri sedang berkembang, tapi in reality, dalam kenyataan, negeri kita belum merdeka penuh. Sekarang, program yang paling dekat ini juga berjuang untuk kemerdekaan penuh. Sebab yang dinamakan negeri merdeka, ambil itu formulasi dari Bung Karno tahun-tahun terakhir menjelang tahun ’65, yaitu tiga pokok yang harus dicapai oleh Indonesia:
Pertama mempunyai kedaulatan politik, artinya tidak tergantung, tidak terpengaruh dan tidak menjadi embel-embel dari satu negara mana pun;
Kedua berdikari di bidang ekonomi; menurut pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, semua kekayaan yang ada di bumi wilayah tanah air Indonesia ini, baik di atas gunung maupun di dalam tanah, maupun di lautan, pokoknya apa saja kekayaan alam semesta yang ada di wilayah Republik Indonesia dimanfaatkan menjadi modal untuk kesejahteraan rakyat. Ekonomi Indonesia sekarang tergantung pada negeri lain. Apalagi sekarang apa saja yang ada semuanya diatur oleh multinational corporations, perusahan-perusahaan multinasional, entah kepunyaan Amerika, entah kepunyaan Inggeris, entah kepunyaan Jepang, pokoknya modal asing. Lalu ekonomi nasional dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan asing. Jadi tidak ada ekonomi nasional. Zaman Bung Karno, sebelum Peristiwa ’65, sudah dikemukakan bahwa mercu suar di bidang ekonomi adalah berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, kekayaan nasional untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Ketiga berkepribadian di bidang kebudayaan. Kalau kita lihat sekarang, kebudayaan nasional semakin samar-samar, nyaris menghilang. Yang banyak kebudayaan globalisasi, kebudayaan internasional. Dulu Bung Karno sudah mengecam kebudayaan yang dekaden. Apalagi belakangan masuk kebudayaan narkoba, yang dijadikan alat perdagangan untuk merusak kesehatan, merusak kewajaran pertumbuhan suatu bangsa. Narkoba merusak syaraf anak bangsa, merusak daya pikirnya, merusak kepribadiannya, sebab mereka tidak sehat. Di Indonesia dari tiga anak sekolah dasar satu di antaranya terkena narkoba itu.
Kebudayaan nasional kita adalah naluri dari kebudayaan nenek-moyang kita pada zaman-zaman sebelum Majapahit, zaman Sriwijaya, dan kebudayaan dari berbagai suku. Itu merupakan kebudayaan hasil kegiatan kemanusiaan, hasil pengembangan kemanusiaan. Kebudayaan ini sekarang dirusak oleh kebudayaan dagang internasional, kebudayaan komersiil. Seperti di zaman Tiongkok dulu ada “perang Candu”. Candu sengaja digunakan untuk merusak bangsa itu. Sekarang narkoba yang menjadi alat perdagangan yang merusak bangsa Indonesia. Untuk melawannya, Bung Karno mengumandangkan tiga kemerdekaan. Politik bebas dan aktif, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan: Tri-sakti. Trisakti itu sebagai satu yang utuh yang harus diperjuangkan dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Halaman 358)
“Tak ada gading yang tak retak”. Tak ayal lagi, buku Pak Soemarsono ini tak luput dari kekurangan. Yang paling terasa adalah banyak pengulangan. Bahasanya bahasa lisan. Tapi bagaimana pun jua, pengulangan-pengulangan tidaklah mengurangi nilainya, bahkan punya arti positif dalam arti menggarisbawahi persoalan yang dipaparkan. Dan bahasa lisan ini, adalah justru memberi ciri orisinalitas, bukan hanya gaya bahasa, tapi bahkan menampilkan gaya Pak Marsono yang cekak aos, blak-blakan, buka kulit tampak isi. Pada hemat saya, ini bukanlah kekurangan. Tapi memberi nilai tambah tersendiri. Saya ucapkan selamat pada Pak Soemarsono. Semoga buku REVOLUSI AGUSTUS, Kesaksian Pelaku Sejarah ini bermanfaat ikut memperkaya khazanah kepustakaan Indonesia sebagai sumbangan untuk menerangi penulisan sejarah modern Indonesia.
*****
25 Februari 2009.
MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO
REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah
(5)
V. Junjung tinggi Trisakti Bung Karno.
Pak Soemarsono berpendapat: Mengenai jalan keluar bagi situasi Indonesia yang masih negeri tergantung, sekalipun itu dengan istilah lain, developing country, negeri sedang berkembang, tapi in reality, dalam kenyataan, negeri kita belum merdeka penuh. Sekarang, program yang paling dekat ini juga berjuang untuk kemerdekaan penuh. Sebab yang dinamakan negeri merdeka, ambil itu formulasi dari Bung Karno tahun-tahun terakhir menjelang tahun ’65, yaitu tiga pokok yang harus dicapai oleh Indonesia:
Pertama mempunyai kedaulatan politik, artinya tidak tergantung, tidak terpengaruh dan tidak menjadi embel-embel dari satu negara mana pun;
Kedua berdikari di bidang ekonomi; menurut pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, semua kekayaan yang ada di bumi wilayah tanah air Indonesia ini, baik di atas gunung maupun di dalam tanah, maupun di lautan, pokoknya apa saja kekayaan alam semesta yang ada di wilayah Republik Indonesia dimanfaatkan menjadi modal untuk kesejahteraan rakyat. Ekonomi Indonesia sekarang tergantung pada negeri lain. Apalagi sekarang apa saja yang ada semuanya diatur oleh multinational corporations, perusahan-perusahaan multinasional, entah kepunyaan Amerika, entah kepunyaan Inggeris, entah kepunyaan Jepang, pokoknya modal asing. Lalu ekonomi nasional dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan asing. Jadi tidak ada ekonomi nasional. Zaman Bung Karno, sebelum Peristiwa ’65, sudah dikemukakan bahwa mercu suar di bidang ekonomi adalah berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, kekayaan nasional untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Ketiga berkepribadian di bidang kebudayaan. Kalau kita lihat sekarang, kebudayaan nasional semakin samar-samar, nyaris menghilang. Yang banyak kebudayaan globalisasi, kebudayaan internasional. Dulu Bung Karno sudah mengecam kebudayaan yang dekaden. Apalagi belakangan masuk kebudayaan narkoba, yang dijadikan alat perdagangan untuk merusak kesehatan, merusak kewajaran pertumbuhan suatu bangsa. Narkoba merusak syaraf anak bangsa, merusak daya pikirnya, merusak kepribadiannya, sebab mereka tidak sehat. Di Indonesia dari tiga anak sekolah dasar satu di antaranya terkena narkoba itu.
Kebudayaan nasional kita adalah naluri dari kebudayaan nenek-moyang kita pada zaman-zaman sebelum Majapahit, zaman Sriwijaya, dan kebudayaan dari berbagai suku. Itu merupakan kebudayaan hasil kegiatan kemanusiaan, hasil pengembangan kemanusiaan. Kebudayaan ini sekarang dirusak oleh kebudayaan dagang internasional, kebudayaan komersiil. Seperti di zaman Tiongkok dulu ada “perang Candu”. Candu sengaja digunakan untuk merusak bangsa itu. Sekarang narkoba yang menjadi alat perdagangan yang merusak bangsa Indonesia. Untuk melawannya, Bung Karno mengumandangkan tiga kemerdekaan. Politik bebas dan aktif, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan: Tri-sakti. Trisakti itu sebagai satu yang utuh yang harus diperjuangkan dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Halaman 358)
“Tak ada gading yang tak retak”. Tak ayal lagi, buku Pak Soemarsono ini tak luput dari kekurangan. Yang paling terasa adalah banyak pengulangan. Bahasanya bahasa lisan. Tapi bagaimana pun jua, pengulangan-pengulangan tidaklah mengurangi nilainya, bahkan punya arti positif dalam arti menggarisbawahi persoalan yang dipaparkan. Dan bahasa lisan ini, adalah justru memberi ciri orisinalitas, bukan hanya gaya bahasa, tapi bahkan menampilkan gaya Pak Marsono yang cekak aos, blak-blakan, buka kulit tampak isi. Pada hemat saya, ini bukanlah kekurangan. Tapi memberi nilai tambah tersendiri. Saya ucapkan selamat pada Pak Soemarsono. Semoga buku REVOLUSI AGUSTUS, Kesaksian Pelaku Sejarah ini bermanfaat ikut memperkaya khazanah kepustakaan Indonesia sebagai sumbangan untuk menerangi penulisan sejarah modern Indonesia.
*****
25 Februari 2009.
CATATAN FILSAFAT
Suar Suroso:
TENTANG KARYA MARX-ENGELS:
"IDEOLOGI JERMAN".
Pada tahun 1845-1846 Marx dan Engels menulis "Ideologi Jerman". Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengembangkan lebih lanjut pembalikan dalam filsafat. Lebih luas diuraikan lagi prinsip-prinsip materialisme historis. Diuraikan dasar-dasar ajaran tentang susunan ekonomi kemasyarakatan.
Dengan karya ini Marx dan Engels mengadakan perlawanan terhadap filsafat idealis yang berkuasa di Jerman waktu itu, terutama terhadap filsafat Hegel serta para pengikut kaum Hegelian muda. Dengan menggunakan dialektika dalam menganalisa hubungan-hubungan kapitalis serta tentang dasar-dasar klas masyarakat burjuis, Marx dan Engels mengajukan dasar-dasar teori, bahwa terdapat hukum objektif perjuangan klas, dan secara umum berlaku hukum dialektika -- hukum kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang bertentangan. Mereka melakukan studi yang mendalam tentang kontradiksi antara kerja dan kapital, antara proletariat dan burjuasi, kontradiksi dasar dari masyarakat burjuis yaitu kontradiksi dari dua segi: yang pertama segi yang revolusioner yang ingin merobah sistim masyarakat, yang kedua segi konservatif yang ingin mempertahankan sistim yang berlaku. Maka Marx dan Engels sampai pada kesimpulan, bahwa menurut keharusan objektif, perkembagan kontradiksi itu, akan menuju ke revolusi sosialis.
Dalam perjuangan melawan kaum Hegelian muda, Marx dan Engels pertama-tama melawan konsepsi mereka yang anti rakyat. Kaum Hegelian muda berpendapat, bahwa kekuatan penggerak proses sejarah kemasyarakatan adalah kesadaran, adalah ide-ide. Marx dan Engels membuktikan, bahwa ide itu sendiri, tanpa dihubungkan dengan masyarakat, dengan kebutuhan materiil adalah tidak berdaya; bahwa kekuatan yang menentukan bagi perkembagan masyarakat adalah massa rakyat, yang peranannya meningkat menurut hukumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta bahwa tokoh-tokoh sejarah yang terkemuka adalah memanifestasikan kebutuhan masyarakat, yaitu memenuhi kepentingan klas tertentu, dan demi klas itulah terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang sesungguhnya.
Dalam "Ideologi Jerman" Marx dan Engels juga menunjukkan, bahwa ide-ide yang berkuasa dalam masyarakat adalah ide-ide klas penguasa, bahwa negara ( tidak tergantung pada bentuk pemerintahan -- monarkhi, republik demokratis dsb. ) selalu merupakan diktatur klas tertentu yang menguasai alat-produksi. Dari pandangan ini, Marx dan Engels tampil dengan ide tentang diktatur proletariat.
Dalam karyanya ini Marx dan Engels mengembangkan dan menancapkan pandangan, bahwa produksi material merupakan dasar dari kehidupan masyarakat. Diuraikannya dan dianalisanya bentuk-bentuk pemilikan yang terdapat dalam sejarah, yaitu pemilikan dalam masyarakat primitif, pemilikan dalam masyarakat perbudakan, pemilikan dalam masyarakat feodal dan pemilikan dalam masyarakat burjuasi. Perkembangan bentuk-bentuk pemilikan harus dipandang tak terlepas dari (tergantung pada) tingkat perkembangan tenaga-tenaga produksi. Dalam uraiannya ini Marx dan Engels mengemukakan ciri-ciri proses pembagian kerja kemasyarakatan.
Dengan teliti Marx dan Engels menganalisa tingkat-tingkat dasar perkembangan kapitalisme yaitu tingkat manufaktur, tingkat produksi mesin-mesin besar-besaran dan tingkat yang dirintangi oleh peranan khusus kapital dagang. Dari studinya tentang ketergantungan hubungan-hubungan produksi pada ciri-ciri dan tingkat perkembangan alat-alat produksi, Marx dan Engels menemukan keharusan selarasnya hubungan-hubungan produksi dengan sifat-sifat tenaga produktif. Di sini, Marx dan Engels telah melihat bahwa dalam masyarakat berklas, tenaga penggerak perkembangan masyarakat terletak dalam kontradiksi-kontradiksi antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan-produksi.
Dengan tajam Marx dan Engels menulis, bahwa tingkat-tingkat perbedaan dalam pembagian kerja adalah sesuai dengan perbedaan bentuk pemilikan, karena tiap tingkat menetapkan hubungan perseorangan antara sesamanya dan hubungannya terhadap sasaran kerja, alat kerja serta produk kerja. Bentuk pertama dari pemilikan dikenal dalam masyarakat primitif. Sesuai dengan tingkat produksi yang belum berkembang, di mana manusia hidup dari perburuan, penangkapan ikan, pemeliharaan ternak, maka kerja yang paling maju waktu itu adalah, berupa pengolahan tanah. Muncullah sejumlah besar massa yang belum cekatan dalam mengolah tanah. Pada masa itu, pembagian kerja berkembang dengan sangat lambat. Perkembangannya menjurus ke arah pembagian kerja dalam keluarga. Struktur masyarakatnya masih terbatas, yaitu hanyalah berupa lingkungan keluarga yang diperluas: kepala keluarga patriarkal dengan bawahannya anggota-anggota keluarga, akhirnya kaum budak. Perbudakan dalam bentuk tertutup terdapat dalam lingkungan keluarga, dan berkembang setapak demi setapak. Bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi serta dengan meluasnya hubungan-hubungan keluar dalam bentuk peperangan-peperangan ataupun perdagangan. Pemilikan yang berlaku adalah pemilikan umum yang primitif, pemilikan bersama yang muncul dengan jalan penyatuan berbagai suku atas dasar persetujuan sukarela atau atas dasar penaklukan-penaklukan.
Dalam pada itu, muncul dan berkembanglah pemilikan perseorangan, yaitu bentuk kedua dari pemilikan. Pemilikan perseorangan berkembang seiring dengan perkembangan sistim perbudakan. Pembagian kerja juga berkembang dengan sangat cepat. Terjadilah hubungan-hubungan kemasyarakatan berupa hubungan antara budak dan tuan budak. Hubungan-hubungan ini adalah hubungan-hubungan klas, hubungan antara yang dimiliki dengan si pemilik, hubungan antara yang dikuasai dengan si penguasa, hubungan antara si terhisap dengan si penghisap, hubungan antara klas terhisap dan klas penghisap. Pada masa ini, berlangsung pemusatan pemilikan tanah, yaitu pemusatan pemilikan atas alat produksi yang utama dengan sistim perbudakan sebagai dasar semua produksi.
Bentuk ketiga dari pemilikan adalah pemilikan feodal. Bentuk utama pemilikan di zaman feodal adalah pemilikan tanah. Dengan perkembagan pemilikan perseorangan, maka terjadilah pemilikan tanah secara pemusatan besar-besaran di tangan perseorangan.
Sebagaimana pemilikan kekeluargaan dan pemilikan umum bersama, pemilikan feodal juga mengalami masa tenang untuk waktu panjang, dalam syarat-syarat klas feodal penguasa tanah berkontradiksi dengan klas produsen yang tak memiliki alat produksi, yaitu dengan kaum tani. Seiring dengan perkembangan feodalisme sepenuhnya, maka muncullah kontradiksi antara desa dan kota.
Bentuk ke-empat adalah pemilikan burjuis. Suatu bentuk yang tak terhindarkan, menggantikan pemilikan feodal. Akibat yang langsung dari pembagian kerja antara berbagai kota dan desa adalah munculnya manufaktur-manufaktur. Berlangsunglah pemusatan penduduk serta konsentrasi kapital. Hubungan-hubungan patriarkhal pertukangan dalam manufaktur-manufaktur
berobah menjadi hubungan-uang antara kaum pekerja dan kaum kapitalis. Penemuan benua Amerika dan jalan laut ke Hindia Timur telah mempercepat perkembagan perdagangan dan manufaktur. Perdagangan dan manufaktur melahirkan burjuasi-burjuasi besar.
Pemilikan burjuasi adalah bibit yang melahirkan perindustrian besar dan persaingan kapital yang menyeluruh. Negara modernpun lahir sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi milik perseorangan burjuasi yang kian berkembang. Sementara itu, terbentuklah pandangan-pandangan, ideologi yang cocok dengan keadaan masyarakat. Perkembangan produksi materiil, dan kebutuhan hidup matriil telah merobah tingkah laku serta fikiran-fikiran dan hasil pemikiran manusia. Ternyata dalam sejarah, bahwa "bukan kesadaran yang menentukan penghidupan, tetapi penghidupanlah yang menentukan kesadaran manusia" *).
Syarat-syarat ekonomi mempengaruhi ideologi. Pada setiap zaman, klas yang berkuasa adalah menguasai ekonomi, maka fikiran klas yang berkuasa juga menjadi fikiran yang berkuasa. Itu berarti bahwa klas yang merupakan kekuatan materiil berkuasa dari masyarakat, adalah juga merupakan kekuatan idiil yang berkuasa. Dan ide-ide, fikiran-fikiran yang berkuasa pada suatu zaman, tidak bisa lain adalah manifestasi idiil dari hubungan-hubungan materiil yang berkuasa.
Dalam "Ideologi Jerman" ini dikemukakan, bahwa bukanlah kritik, tetapi revolusilah yang merupakan tenaga penggerak sejarah. Revolusi merupakan suatu keharusan dalam masyarakat berklas, bukan saja karena tidak ada jalan lain yang mungkin untuk menggulingkan klas yang berkuasa, tetapi karena klas terhisap hanya dengan revolusi dapat melemparkan dari dirinya semua kehinaan lama, dan dapat mendirikan dasar-dasar baru masyarakat.
Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengemukakan banyak ide-ide baru. Materialisme-historis diajukan dalam rumusan-rumusan yang tegas. Dinyatakannya, bahwa produksi materiil merupakan titik pangkal dan faktor menentukan perkembangan sejarah. Diajukan pengertian tentang cara produksi yang mempunyai ciri khusus menentukan bagi hubungan antara sesama manusia. Tergantung pada cara produksi inilah berlangsung pembentukan klas-klas dan terjadi perobahan struktur masyarakat. Dan sesuai dengan itu terbentuklah negara, serta ide-ide klas penguasa tak dapat tidak menjadi ide yang berkuasa. Dengan dasar-dasar baru Marx dan Engels meneruskan kritik terhadap milik perseorangan atas alat produksi. Mereka menyelidiki secara mendalam patung berhala pujaan para ahli ekonomi burjuis, dan menunjukkan, bahwa milik perseoragan atas alat produksi adalah gejala yang muncul relatif belum terlalu lama dalam sejarah manusia. Sebaliknya, selama ribuan tahun berlalu, bentuk pemilikan yang lain, yang bersifat milik umum bersama, milik negara sudah ada.
Analisa mendalam tentang bermacam-macam bentuk pemilikan adalah jasa besar dari Marx dan Engels. Penemuan Marx dan Engels yang besar, yang mempunyai peranan menjungkir-balikkan ilmu ekonomi-politik adalah penguraian tentang berbagai susunan ekonomi kemasyarakatan yang membagi tingkat-tingkat perkembagan sejarah menjadi masyarakat komune primitif, masyarakat perbudakan, masyarakat feodal dan masyarakat burjuis; serta menunjukkan keharusan perobahan susunan ekonomi kemasyarakatan yang satu ke yang lainnya sebagai hukum perkembangan sejarah.
Perkembangan kapitalisme itu sendiri melahirkan syarat-syarat objektif, syarat pendabuluan untuk revolusi. Kekuatan yang paling tangguh dalam revolusi ini adalah proletariat, klas yang paling dirugikan oleh burjuasi. Revolusi ini secara prinsipiil berbeda dengan revolusi anti-feodal. Revolusi anti-feodal memberi jaminan bagi pengakuan atas hak milik perseorangan burjuasi, jaminan bagi kebebasan perekonomian mereka. Sebaliknya, proletariat menghancurkan syarat-syarat perbudakan bagi eksistensinya, dan itu berarti bahwa revolusi ini adalah yang paling radikal dalam sejarah dunia. Maka demikianlah, dalam tingkat sejarah ini, revolusi memainkan peranan sebagai tenaga penggerak dalam proses perkembangan sejarah.
Dengan penemuan Marx dan Engels tentang susunan-susunan ekonomi kemasyarakatan, maka terbukalah pintu bagi pemecahan problim-problim ekonomi-politik kapitalisme. Dapat didalami masalah perkembangan tenaga produktif dan bentuk-bentuk pemilikan, serta dapat diungkap masalah asal-usul kapitalisme, dan dapat diterangkan peranan manufaktur bagi perkembagan kapitalisme.
Dalam "Ideologi Jerman", Marx dan Engels telah menggunakan pengertian hubungan-produksi dengan pakai istilah "bentuk-bentuk saling hubungan dalam ekonomi". Dengan mengajukan tugas merebut kekuasaan politik bagi proletariat, Marx dan Engels telah mempersiapkan semboyan untuk menegakkan diktatur proletariat.
Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengkritik dengan tajam anarkhisme, ide-ide yang dikemukakan oleh kaum Hegelian muda, dengan tokohnya Max Stirner. Juga mengkritik "sosialisme sejati" dengan tokohnya Karl Grun. Karl Grun berpendapat, bahwa "produksi dan konsumsi adalah selaras". Marx dan Engels menyatakan, bahwa produksi dan konsumsi justru adalah berkontradiksi, yaitu terdapat hubungan-hubungan yang berbeda dari produksi dan konsumsi, terdapat kontradiksi-kontradiksi antara keduanya. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak bisa diketahui tanpa mempelajari tiap-tiap cara produksi dan bangunan masyarakat yang didasarkan padanya. Dan memecahkan kontradiksi itu, hanya mungkin dengan jalan perobahan-perobahan praktis dari cara produksi serta bangunan masyarakatnya.
Demikianlah, "Ideologi Jerman" bukan saja adalah karya Marx dan Engels mengenai ekonomi-politik, tetapi juga merupakan karya filsafat yang bersejarah. Dalam karyanya ini mereka mengkritik idealisme kaum Hegelian muda serta mengkritik keterbatasan materialisme Feuerbach. Feuerbach menganut materialisme dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi idealis dalam mengungkap gejala-gejala masyarakat. Dalam mengungkap pandangan dunia yang rumit, dalam karya ini Marx dan Engels untuk pertama kalinya menguraikan pemahamannya yang materialistis tentang sejarah.
Dengan mengembangkan lebih lanjut ide-ide yang sudah dikemukakannya dalam "Keluarga Suci", Marx dan Engels mengemukakan, bahwa idealisme adalah berhubungan dengan klas-klas yang bermusuhan terhadap proletariat, dan bahwa dalam banyak hal filsafat kaum Hegelian muda Jerman adalah mencerminkan kekerdilan dan ketidak-berdayaan burjuasi Jerman. Dalam mengkritik materialisme Feuerbach yang pasif, Marx dan Engels menunjukkan bahwa dalam pandangannya mengenai sejarah, Feuerbach adalah idealis, oleh karena itu, sebagaimana kaum Hegelian muda, dia tidak bisa memahami tenaga penggerak perkembagan masyarakat. Dalam "Ideologi Jerman" terdapat kritik yang tak kenal ampun terhadap individualisme burjuis dari kaum anarchis Stirner, demikan juga terhadap "sosialisme sejati" yang reaksioner dari Karl Grun, M.Hess dan lain-lain. Marx dan Engels menunjukkan, bahwa sebagaimana Stirner, kaum "sosialis dejati" membenci proletariat yang revolusioner dan mereka berorientasi bukan kepada masa depan Jerman, tetapi kepada masa lampaunya. Dalam karya ini diuraikan nasionalisme dari kaum "sosialis sejati", dan ditunjukkan bahwa keangkuhan nasional yang sombong dari kaum Hegelian muda adalah sesuai dengan selera kaum pertukangan dan kaum kerajinan tangan kecil-kecilan yang dipraktekkan kaum burjuis Jerman masa itu.
Dalam perjuangan melawan musuh-musuh proletariat, Marx dan Engels telah menunjukkan dalam "Ideologi Jerman" berbagai segi dari dasar-dasar sosialisme ilmiah, mengajarkan agar proletariat bertindak menurut hukum objektif perkembagan masyarakat. Dalam karyanya ini telah dikemukakan masalah pokok materialisme-historis, yaitu masalah susunan-susunan ekonomi kemasyarakatan, serta ditunjukkan sebab-sebab perobahan susunan itu. Disini diajukan tesis utama materialisme-historis yang menyatakan bahwa keadaan masyarakatlah yang menentukan kesadaran manusia. Marx dan Engels meramalkan, bahwa kemenangan perjuangan proletariat melawan burjuasi adalah suatu keharusan menurut hukum ekonomi yang berlaku, yang terdapat di luar keinginan manusia.
Catatan:
*). Marx-Engels: IDEOLOGI JERMAN, Kumpulan Karya Marx-Engels jilid III, edisi Russia, hal 25, 28 dan 74, Balai Penerbitan Negara untuk Literatur Politik, Moskow, 1965.
TENTANG KARYA MARX-ENGELS:
"IDEOLOGI JERMAN".
Pada tahun 1845-1846 Marx dan Engels menulis "Ideologi Jerman". Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengembangkan lebih lanjut pembalikan dalam filsafat. Lebih luas diuraikan lagi prinsip-prinsip materialisme historis. Diuraikan dasar-dasar ajaran tentang susunan ekonomi kemasyarakatan.
Dengan karya ini Marx dan Engels mengadakan perlawanan terhadap filsafat idealis yang berkuasa di Jerman waktu itu, terutama terhadap filsafat Hegel serta para pengikut kaum Hegelian muda. Dengan menggunakan dialektika dalam menganalisa hubungan-hubungan kapitalis serta tentang dasar-dasar klas masyarakat burjuis, Marx dan Engels mengajukan dasar-dasar teori, bahwa terdapat hukum objektif perjuangan klas, dan secara umum berlaku hukum dialektika -- hukum kesatuan dan perjuangan dari segi-segi yang bertentangan. Mereka melakukan studi yang mendalam tentang kontradiksi antara kerja dan kapital, antara proletariat dan burjuasi, kontradiksi dasar dari masyarakat burjuis yaitu kontradiksi dari dua segi: yang pertama segi yang revolusioner yang ingin merobah sistim masyarakat, yang kedua segi konservatif yang ingin mempertahankan sistim yang berlaku. Maka Marx dan Engels sampai pada kesimpulan, bahwa menurut keharusan objektif, perkembagan kontradiksi itu, akan menuju ke revolusi sosialis.
Dalam perjuangan melawan kaum Hegelian muda, Marx dan Engels pertama-tama melawan konsepsi mereka yang anti rakyat. Kaum Hegelian muda berpendapat, bahwa kekuatan penggerak proses sejarah kemasyarakatan adalah kesadaran, adalah ide-ide. Marx dan Engels membuktikan, bahwa ide itu sendiri, tanpa dihubungkan dengan masyarakat, dengan kebutuhan materiil adalah tidak berdaya; bahwa kekuatan yang menentukan bagi perkembagan masyarakat adalah massa rakyat, yang peranannya meningkat menurut hukumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat, serta bahwa tokoh-tokoh sejarah yang terkemuka adalah memanifestasikan kebutuhan masyarakat, yaitu memenuhi kepentingan klas tertentu, dan demi klas itulah terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang sesungguhnya.
Dalam "Ideologi Jerman" Marx dan Engels juga menunjukkan, bahwa ide-ide yang berkuasa dalam masyarakat adalah ide-ide klas penguasa, bahwa negara ( tidak tergantung pada bentuk pemerintahan -- monarkhi, republik demokratis dsb. ) selalu merupakan diktatur klas tertentu yang menguasai alat-produksi. Dari pandangan ini, Marx dan Engels tampil dengan ide tentang diktatur proletariat.
Dalam karyanya ini Marx dan Engels mengembangkan dan menancapkan pandangan, bahwa produksi material merupakan dasar dari kehidupan masyarakat. Diuraikannya dan dianalisanya bentuk-bentuk pemilikan yang terdapat dalam sejarah, yaitu pemilikan dalam masyarakat primitif, pemilikan dalam masyarakat perbudakan, pemilikan dalam masyarakat feodal dan pemilikan dalam masyarakat burjuasi. Perkembangan bentuk-bentuk pemilikan harus dipandang tak terlepas dari (tergantung pada) tingkat perkembangan tenaga-tenaga produksi. Dalam uraiannya ini Marx dan Engels mengemukakan ciri-ciri proses pembagian kerja kemasyarakatan.
Dengan teliti Marx dan Engels menganalisa tingkat-tingkat dasar perkembangan kapitalisme yaitu tingkat manufaktur, tingkat produksi mesin-mesin besar-besaran dan tingkat yang dirintangi oleh peranan khusus kapital dagang. Dari studinya tentang ketergantungan hubungan-hubungan produksi pada ciri-ciri dan tingkat perkembangan alat-alat produksi, Marx dan Engels menemukan keharusan selarasnya hubungan-hubungan produksi dengan sifat-sifat tenaga produktif. Di sini, Marx dan Engels telah melihat bahwa dalam masyarakat berklas, tenaga penggerak perkembangan masyarakat terletak dalam kontradiksi-kontradiksi antara tenaga-tenaga produksi dan hubungan-produksi.
Dengan tajam Marx dan Engels menulis, bahwa tingkat-tingkat perbedaan dalam pembagian kerja adalah sesuai dengan perbedaan bentuk pemilikan, karena tiap tingkat menetapkan hubungan perseorangan antara sesamanya dan hubungannya terhadap sasaran kerja, alat kerja serta produk kerja. Bentuk pertama dari pemilikan dikenal dalam masyarakat primitif. Sesuai dengan tingkat produksi yang belum berkembang, di mana manusia hidup dari perburuan, penangkapan ikan, pemeliharaan ternak, maka kerja yang paling maju waktu itu adalah, berupa pengolahan tanah. Muncullah sejumlah besar massa yang belum cekatan dalam mengolah tanah. Pada masa itu, pembagian kerja berkembang dengan sangat lambat. Perkembangannya menjurus ke arah pembagian kerja dalam keluarga. Struktur masyarakatnya masih terbatas, yaitu hanyalah berupa lingkungan keluarga yang diperluas: kepala keluarga patriarkal dengan bawahannya anggota-anggota keluarga, akhirnya kaum budak. Perbudakan dalam bentuk tertutup terdapat dalam lingkungan keluarga, dan berkembang setapak demi setapak. Bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan konsumsi serta dengan meluasnya hubungan-hubungan keluar dalam bentuk peperangan-peperangan ataupun perdagangan. Pemilikan yang berlaku adalah pemilikan umum yang primitif, pemilikan bersama yang muncul dengan jalan penyatuan berbagai suku atas dasar persetujuan sukarela atau atas dasar penaklukan-penaklukan.
Dalam pada itu, muncul dan berkembanglah pemilikan perseorangan, yaitu bentuk kedua dari pemilikan. Pemilikan perseorangan berkembang seiring dengan perkembangan sistim perbudakan. Pembagian kerja juga berkembang dengan sangat cepat. Terjadilah hubungan-hubungan kemasyarakatan berupa hubungan antara budak dan tuan budak. Hubungan-hubungan ini adalah hubungan-hubungan klas, hubungan antara yang dimiliki dengan si pemilik, hubungan antara yang dikuasai dengan si penguasa, hubungan antara si terhisap dengan si penghisap, hubungan antara klas terhisap dan klas penghisap. Pada masa ini, berlangsung pemusatan pemilikan tanah, yaitu pemusatan pemilikan atas alat produksi yang utama dengan sistim perbudakan sebagai dasar semua produksi.
Bentuk ketiga dari pemilikan adalah pemilikan feodal. Bentuk utama pemilikan di zaman feodal adalah pemilikan tanah. Dengan perkembagan pemilikan perseorangan, maka terjadilah pemilikan tanah secara pemusatan besar-besaran di tangan perseorangan.
Sebagaimana pemilikan kekeluargaan dan pemilikan umum bersama, pemilikan feodal juga mengalami masa tenang untuk waktu panjang, dalam syarat-syarat klas feodal penguasa tanah berkontradiksi dengan klas produsen yang tak memiliki alat produksi, yaitu dengan kaum tani. Seiring dengan perkembangan feodalisme sepenuhnya, maka muncullah kontradiksi antara desa dan kota.
Bentuk ke-empat adalah pemilikan burjuis. Suatu bentuk yang tak terhindarkan, menggantikan pemilikan feodal. Akibat yang langsung dari pembagian kerja antara berbagai kota dan desa adalah munculnya manufaktur-manufaktur. Berlangsunglah pemusatan penduduk serta konsentrasi kapital. Hubungan-hubungan patriarkhal pertukangan dalam manufaktur-manufaktur
berobah menjadi hubungan-uang antara kaum pekerja dan kaum kapitalis. Penemuan benua Amerika dan jalan laut ke Hindia Timur telah mempercepat perkembagan perdagangan dan manufaktur. Perdagangan dan manufaktur melahirkan burjuasi-burjuasi besar.
Pemilikan burjuasi adalah bibit yang melahirkan perindustrian besar dan persaingan kapital yang menyeluruh. Negara modernpun lahir sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi milik perseorangan burjuasi yang kian berkembang. Sementara itu, terbentuklah pandangan-pandangan, ideologi yang cocok dengan keadaan masyarakat. Perkembangan produksi materiil, dan kebutuhan hidup matriil telah merobah tingkah laku serta fikiran-fikiran dan hasil pemikiran manusia. Ternyata dalam sejarah, bahwa "bukan kesadaran yang menentukan penghidupan, tetapi penghidupanlah yang menentukan kesadaran manusia" *).
Syarat-syarat ekonomi mempengaruhi ideologi. Pada setiap zaman, klas yang berkuasa adalah menguasai ekonomi, maka fikiran klas yang berkuasa juga menjadi fikiran yang berkuasa. Itu berarti bahwa klas yang merupakan kekuatan materiil berkuasa dari masyarakat, adalah juga merupakan kekuatan idiil yang berkuasa. Dan ide-ide, fikiran-fikiran yang berkuasa pada suatu zaman, tidak bisa lain adalah manifestasi idiil dari hubungan-hubungan materiil yang berkuasa.
Dalam "Ideologi Jerman" ini dikemukakan, bahwa bukanlah kritik, tetapi revolusilah yang merupakan tenaga penggerak sejarah. Revolusi merupakan suatu keharusan dalam masyarakat berklas, bukan saja karena tidak ada jalan lain yang mungkin untuk menggulingkan klas yang berkuasa, tetapi karena klas terhisap hanya dengan revolusi dapat melemparkan dari dirinya semua kehinaan lama, dan dapat mendirikan dasar-dasar baru masyarakat.
Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengemukakan banyak ide-ide baru. Materialisme-historis diajukan dalam rumusan-rumusan yang tegas. Dinyatakannya, bahwa produksi materiil merupakan titik pangkal dan faktor menentukan perkembangan sejarah. Diajukan pengertian tentang cara produksi yang mempunyai ciri khusus menentukan bagi hubungan antara sesama manusia. Tergantung pada cara produksi inilah berlangsung pembentukan klas-klas dan terjadi perobahan struktur masyarakat. Dan sesuai dengan itu terbentuklah negara, serta ide-ide klas penguasa tak dapat tidak menjadi ide yang berkuasa. Dengan dasar-dasar baru Marx dan Engels meneruskan kritik terhadap milik perseorangan atas alat produksi. Mereka menyelidiki secara mendalam patung berhala pujaan para ahli ekonomi burjuis, dan menunjukkan, bahwa milik perseoragan atas alat produksi adalah gejala yang muncul relatif belum terlalu lama dalam sejarah manusia. Sebaliknya, selama ribuan tahun berlalu, bentuk pemilikan yang lain, yang bersifat milik umum bersama, milik negara sudah ada.
Analisa mendalam tentang bermacam-macam bentuk pemilikan adalah jasa besar dari Marx dan Engels. Penemuan Marx dan Engels yang besar, yang mempunyai peranan menjungkir-balikkan ilmu ekonomi-politik adalah penguraian tentang berbagai susunan ekonomi kemasyarakatan yang membagi tingkat-tingkat perkembagan sejarah menjadi masyarakat komune primitif, masyarakat perbudakan, masyarakat feodal dan masyarakat burjuis; serta menunjukkan keharusan perobahan susunan ekonomi kemasyarakatan yang satu ke yang lainnya sebagai hukum perkembangan sejarah.
Perkembangan kapitalisme itu sendiri melahirkan syarat-syarat objektif, syarat pendabuluan untuk revolusi. Kekuatan yang paling tangguh dalam revolusi ini adalah proletariat, klas yang paling dirugikan oleh burjuasi. Revolusi ini secara prinsipiil berbeda dengan revolusi anti-feodal. Revolusi anti-feodal memberi jaminan bagi pengakuan atas hak milik perseorangan burjuasi, jaminan bagi kebebasan perekonomian mereka. Sebaliknya, proletariat menghancurkan syarat-syarat perbudakan bagi eksistensinya, dan itu berarti bahwa revolusi ini adalah yang paling radikal dalam sejarah dunia. Maka demikianlah, dalam tingkat sejarah ini, revolusi memainkan peranan sebagai tenaga penggerak dalam proses perkembangan sejarah.
Dengan penemuan Marx dan Engels tentang susunan-susunan ekonomi kemasyarakatan, maka terbukalah pintu bagi pemecahan problim-problim ekonomi-politik kapitalisme. Dapat didalami masalah perkembangan tenaga produktif dan bentuk-bentuk pemilikan, serta dapat diungkap masalah asal-usul kapitalisme, dan dapat diterangkan peranan manufaktur bagi perkembagan kapitalisme.
Dalam "Ideologi Jerman", Marx dan Engels telah menggunakan pengertian hubungan-produksi dengan pakai istilah "bentuk-bentuk saling hubungan dalam ekonomi". Dengan mengajukan tugas merebut kekuasaan politik bagi proletariat, Marx dan Engels telah mempersiapkan semboyan untuk menegakkan diktatur proletariat.
Dalam karyanya ini, Marx dan Engels mengkritik dengan tajam anarkhisme, ide-ide yang dikemukakan oleh kaum Hegelian muda, dengan tokohnya Max Stirner. Juga mengkritik "sosialisme sejati" dengan tokohnya Karl Grun. Karl Grun berpendapat, bahwa "produksi dan konsumsi adalah selaras". Marx dan Engels menyatakan, bahwa produksi dan konsumsi justru adalah berkontradiksi, yaitu terdapat hubungan-hubungan yang berbeda dari produksi dan konsumsi, terdapat kontradiksi-kontradiksi antara keduanya. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak bisa diketahui tanpa mempelajari tiap-tiap cara produksi dan bangunan masyarakat yang didasarkan padanya. Dan memecahkan kontradiksi itu, hanya mungkin dengan jalan perobahan-perobahan praktis dari cara produksi serta bangunan masyarakatnya.
Demikianlah, "Ideologi Jerman" bukan saja adalah karya Marx dan Engels mengenai ekonomi-politik, tetapi juga merupakan karya filsafat yang bersejarah. Dalam karyanya ini mereka mengkritik idealisme kaum Hegelian muda serta mengkritik keterbatasan materialisme Feuerbach. Feuerbach menganut materialisme dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi idealis dalam mengungkap gejala-gejala masyarakat. Dalam mengungkap pandangan dunia yang rumit, dalam karya ini Marx dan Engels untuk pertama kalinya menguraikan pemahamannya yang materialistis tentang sejarah.
Dengan mengembangkan lebih lanjut ide-ide yang sudah dikemukakannya dalam "Keluarga Suci", Marx dan Engels mengemukakan, bahwa idealisme adalah berhubungan dengan klas-klas yang bermusuhan terhadap proletariat, dan bahwa dalam banyak hal filsafat kaum Hegelian muda Jerman adalah mencerminkan kekerdilan dan ketidak-berdayaan burjuasi Jerman. Dalam mengkritik materialisme Feuerbach yang pasif, Marx dan Engels menunjukkan bahwa dalam pandangannya mengenai sejarah, Feuerbach adalah idealis, oleh karena itu, sebagaimana kaum Hegelian muda, dia tidak bisa memahami tenaga penggerak perkembagan masyarakat. Dalam "Ideologi Jerman" terdapat kritik yang tak kenal ampun terhadap individualisme burjuis dari kaum anarchis Stirner, demikan juga terhadap "sosialisme sejati" yang reaksioner dari Karl Grun, M.Hess dan lain-lain. Marx dan Engels menunjukkan, bahwa sebagaimana Stirner, kaum "sosialis dejati" membenci proletariat yang revolusioner dan mereka berorientasi bukan kepada masa depan Jerman, tetapi kepada masa lampaunya. Dalam karya ini diuraikan nasionalisme dari kaum "sosialis sejati", dan ditunjukkan bahwa keangkuhan nasional yang sombong dari kaum Hegelian muda adalah sesuai dengan selera kaum pertukangan dan kaum kerajinan tangan kecil-kecilan yang dipraktekkan kaum burjuis Jerman masa itu.
Dalam perjuangan melawan musuh-musuh proletariat, Marx dan Engels telah menunjukkan dalam "Ideologi Jerman" berbagai segi dari dasar-dasar sosialisme ilmiah, mengajarkan agar proletariat bertindak menurut hukum objektif perkembagan masyarakat. Dalam karyanya ini telah dikemukakan masalah pokok materialisme-historis, yaitu masalah susunan-susunan ekonomi kemasyarakatan, serta ditunjukkan sebab-sebab perobahan susunan itu. Disini diajukan tesis utama materialisme-historis yang menyatakan bahwa keadaan masyarakatlah yang menentukan kesadaran manusia. Marx dan Engels meramalkan, bahwa kemenangan perjuangan proletariat melawan burjuasi adalah suatu keharusan menurut hukum ekonomi yang berlaku, yang terdapat di luar keinginan manusia.
Catatan:
*). Marx-Engels: IDEOLOGI JERMAN, Kumpulan Karya Marx-Engels jilid III, edisi Russia, hal 25, 28 dan 74, Balai Penerbitan Negara untuk Literatur Politik, Moskow, 1965.
Langganan:
Postingan (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2009
(110)
-
▼
Oktober
(109)
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- EKONOMI DUNIA
- EKONOMI DUNIA
- RESENSI BUKU
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FIKSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di SIA
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN,Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Rralisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
-
▼
Oktober
(109)