Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

23 Oktober 2009

RESENSI BUKU

Suar Suroso:

MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO

REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah

(4)

IV. Membela PKI.

Penggulingan Bung Karno dan pembasmian kaum kiri telah menjadi halaman gelap dalam sejarah bangsa Indonesia. G30S adalah pangkal perobahan drastis sejarah ini. Bung Karno menilai, salah satu sebab kejadian itu adalah karena keblingernya pimpinan PKI. Dalam bukunya, Pak Soemarsono dengan teguh membela PKI. Dia menulis bahwa “Soal keblinger itu tidak bisa diinterpretasikan bahwa Aidit tidak terlibat karena ada skenario mendahului Dewan Jenderal. Aidit percaya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965, itu D-day nya. Kejadiannya pada akhir September atau permulaan Oktober 1965, jadi itu memang mendahului kan ? Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit orang dan PKI itu organisasi. Bagaimana bisa disamakan orang dengan organisasi. Bukan kita tidak menyalahkan Aidit dalam hal ini, tapi yang kita kemukakan “Kenapa Aidit dan juga Lukman serta Njoto tidak diperiksa ? Mengapa dihilangkan begitu saja ? Ini yang tidak
dapat dimengerti. Kenapa mereka takut memeriksa Aidit ?”
Soal bagaimana membela partai, Sidartojo sudah mempraktekkannya. Dia diperiksa oleh Teperpu. Ia bilang, “PKI tidak terlibat. Saya anggota Comite Central dan Sekretariat CC PKI. Saya tidak tahu menahu ! PKI tidak terlibat !” (halaman 251).
Pak Soemarsono menulis: “Selama sembilan tahun di penjara Salemba, Jakarta, saya bertemu dan bergaul dengan banyak pemimpin top PKI, anggota CC, anggota Komisi Verifikasi Central dan lainnya. Terasa aneh bahwa mereka tidak tahu tentang Peristiwa G30S. Umpamanya Sidartojo dari Sekretariat CC yang juga dipenjara di Salemba, Ismail Bakri dari Comite Daerah Besar Provinsi Jawa Barat. Mereka mengatakan bahwa PKI secara organisasi, konstitusional tidak terlibat. Karena benar-benar memang tidak tahu permasalahannya. Sebab masalah itu sebenarnya masalah Biro Chusus (BC)….. Tapi peranan yang lebih menentukan sebenarnya ada di tangan Sjam Kamaruzzaman”.
“Jadi PKI secara konstitusional tidak terlibat. Yang terlibat itu BC yang bikin Dewan Revolusi dan yang waktu itu melakukan kegiatan aktif G30S”. “Keterangan dari teman-teman yang saya temui di Penjara Salemba, akhirnya dapat meyakinkan saya bahwa Suharto juga dihubungi BC. Ternyata hubungan yang ada itu dia gunakan untuk membasmi PKI. Ada saksi-saksinya yang masih hidup” (halaman 252)

Pak Soemarsono menulis: “Kami sudah lama tahu memang Sjam Kamaruzzaman seorang mayor intel. Itu saksinya bukan hanya satu-dua orang saja, bahwa dia dulu di Kementerian Pertahanan bersama Abdul Haris Nasution dan menjadi perwira intelnya. Sjam Kamaruzzaman ini yang menjadi Kepala Biro Chusus. Kalau resminya Kepala Biro Chusus secara politis adalah Aidit, tapi praktis yang melaksanakannya adalah Sjam Kamaruzzaman. Yang bertugas menghubungkan Suharto dengan Biro Chusus adalah Sjam Kamaruzzaman. Jadi orang dulu berpikiran bahwa itu tidak masuk akal. Tapi kenyataannya Suharto yang membasmi PKI” (halaman 253).

Menurut Pak Soemarsono, “tidak bisa dipungkiri lagi Sjam Kamaruzzaman yang mengkhianati dan membuka. Dia tadinya berbuat untuk BC, BC resminya adalah Aidit. Sjam Kamaruzzaman bertindak untuk menumpas PKI melalui Biro Chusus. Sjam Kamaruzzaman bukan double agent saja, barangkali triple agent juga bisa. Dia itu juga berhubungan langsung dengan intel asing” (halaman 254)

Dalam perbandingan dengan korban tewas dalam Peristiwa Madiun, mengenai korban teror sesudah terjadinya G30S, Pak Soemarsono menulis: “Menurut Fact Finding Commission, dua kali jumlah yang dikemukakan oleh Bung Karno. Mendekati 1,5 juta orang pada waktu itu, yang belakangan tambah lagi. Dibunuhi tanpa pengadilan, tanpa proses hukum. Termasuk Aidit, Loekman, dan Njoto, serta Sakirman. Lebih 100 kali lipat dari jumlah korban Peristiwa Madiun yang ‘cuma’ 10.000 orang tewas.
Karena yang menjadi korban pembantaian terutama orang-orang merah, saya juga menyebut Peristiwa G30S Red Drive! Sama yang terjadi di Madiun, yang terjadi di Suliki maupun Situjuh di Sumatra Barat, selama ini ada sebutan Teror Putih Pertama – Madiun, Teror Putih Kedua – Suliki/Situjuh oleh PRRI dan Teror Putih Ketiga – G30S. Artinya saya juga menyebutnya: Red Drive Kesatu, Red Drive Kedua dan Red Drive Ketiga.

Kapan berhentinya Red Drive itu ? Selagi masih ada anti-komunis yang fanatik, selama masih ada kekuasaan yang anti-kiri, Red Drive itu masih tetap akan menjadi ancaman buat kita, kaum pergerakan. Bung Karno bilang: Saya Nasionalis Kiri ! Bung Karno termasuk Kiri, karena itu ia mati dalam tahanan Suharto !” (halaman 255).

Dalam bukunya ini Pak Soemarsono berkali-kali mengkritik putusan MPRS No XXV 1966. Pemerintah yang mempertahankan putusan MPRS No XXV 1966 itu jelas adalah kekuasaan yang anti-kiri. Sekarang ini, ancaman terhadap kaum kiri itu adalah kenyataan dengan masih berlakunya putusan MPRS No XXV 1966, pelarangan atas Marxisme dan PKI di seluruh Indonesia. Kaum kiri Indonesia berada dalam ancaman dapat ditindak, dihukum, dipenjarakan dengan berlakunya putusan MPRS yang anti-komunis, anti-demokrasi ini. Sesungguhnya, MPRS yang menetapkan putusan No XXV 1966 ini adalah anti atau melanggar Undang-Undang Dasar, karena susunannya sudah dikebiri dengan dikeluarkannya semua wakil PKI dan pendukung Bung Karno. Perjuangan untuk mencabut putusan yang anti Undang Undang Dasar ini merupakan perjuangan demi kebebasan kaum kiri, demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Pak Soemarsono adalah seorang yang optimis. Optimismenya diungkapkan dalam bentuk keyakinan akan hukum perkembangan masyarakat. “Orang politik pertama-tama harus kritis dan belajar ilmu hukum perkembangan masyarakat. Perkembangan itu kekal, yang kemarin digantikan yang sekarang, perubahan itu absolut seperti juga pertentangan. Karena ada pertentangan yang absolut maka ada perobahan absolut. Menurut hukumnya, yang lama dikalahkan oleh yang baru, kuantitas ke kualitas. Tak usah takut karena kalau kini kecil, sebab walaupun kecil kalau itu kualitas, nantinya bisa berkembang. Pada 1948 PKI hancur, pada 1950 masih kecil, tapi pada 1955 menjadi begitu besarnya. Bahwa hancur kembali pada 1965, ini adalah kemauan sejarah. Maka belajarlah pada sejarah” (Halaman 261).

Pak Soemarsono menekankan pentingnya arti ideologi. Ditulisnya: “Orang politik tentunya harus punya ideologi. Kalau orang politik tujuannya cuma jabatan ingin jadi menteri, lalu menjadi kutu loncat demi jabatan, demi kedudukan yang enak, itu bukan leader. Memang dia dianggap pembesar, itu boleh saja. Tapi leader suatu pergerakan musti orang yang berideologi. Ideologi itu apa ? Ideologi itu pada dasarnya kemauan. Aku mau mati untuk cita-citaku. Cita-citaku apa ? Mengabdi rakyat ! Mengabdi perjuangan” (Idem).

Mengenai agama dan materialisme dialektik, Pak Soemarsono menulis: “Saya orang Kristen. Tadinya saya beragama Islam. Saya menjadi Kristen karena mengikuti agama isteri saya yang berayahkan seorang pendeta beragama Nasrani. Bagi saya apakah Kristen, apakah Islam atau Buddha, ini suatu plus, suatu kelebihan. Menurut saya anggota Partai komunis yang berideologi komunis dengan pedoman filsafat MDH – Materialisme Dialektik dan Histori – tidak mesti atheis. Atheisme juga satu kepercayaan. Theis juga kepercayaan. Di dalam UUD 45 kedua-duanya disejajarkan.
Mengenai agama, Pak Musso – kurang atheis apa – tokh dia katakan, menurut teorinya, kita ini berideologi kerakyatan, artinya yang kita junjung itu rakyat. Agama masih menjadi milik rakyat, sebab rakyat tidak seperti kita yang ada kalanya dikatakan maju. Untuk bisa menjadi atheis, seseorang memerlukan syarat-syarat keilmuan. Jadi kalau rakyat kita di desa-desa itu masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan, jangankan agama, hantu saja juga mereka masih percaya, masih percaya gugon-tuhon – kepercayaan animisme. Karena itu milik rakyat maka kita harus membelanya. Dan untuk menghapusnya, berilah mereka pendidikan ilmu, nanti ia akan hilang sendiri. Kalau mereka umpamanya tidak suka agama, nanti agama itu akan hilang sendiri, tapi jangan dipaksa, jangan dimusuhi” (halaman 266)

Pak Soemarsono menganjurkan pentingnya belajar karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi. Ditulisnya: “Semua peristiwa berkembang karena kontradiksi. Kita harus mencermati dan mempelajarinya. … Untuk mempelajari lebih mendalam tentang kontradiksi kita harus membaca karya Mao Zedong, On Contradiction – Tentang Kontradiksi. Seorang jenderal Inggeris menyimpulkan, Mao Zedong luar biasa hebatnya. Dia bisa mengomandoi kekuatan musuh.” (Halaman 288). Memang, mempelajari dan memahami karya Mao Zedong Tentang Kontradiksi adalah sangat penting. Hukum kontradiksi adalah inti dari dialektika materialis. Dengan mentrapkan hukum kontradiksi, hal ihwal yang rumit bisa jadi sederhana. Dengan mengenal kontradiksi pokok dapat dicengkam hal yang harus pertama diselesaikan. Dengan memahami segi pokok kontradiksi dapat diketahui arah perkembangan suatu hal ihwal. Untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat dalam organisasi sangat diperlukan penguasaan atas hukum
kontradiksi. Penyelesaian kontradiksi dengan tepat bisa mencegah terjadinya kontradiksi antagonistik, bisa mencegah perpecahan-perpecahan yang tak perlu dalam organisasi. Justru untuk membangun dan mempertahankan persatuan, diperlukan penguasaan akan hukum kontradiksi. Untuk persatuan, harus dicegah berobahnya suatu kontradiksi menjadi kontradiksi antagonistik

Dalam berbagai kesempatan dalam bukunya ini, Pak Soemarsono mengemukakan “Pandangan kita musti benar, mana musuh, mana kawan. Itu musti jelas” (Halaman 345). Ini berarti pentingnya membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Sebenarnya, ini adalah ajaran Mao Zedong, adalah kalimat pertama, jilid pertama Pilihan Karyanya. Lengkapnya berbunyi: “Siapa musuh kita? Siapa sahabat kita? Masalah ini adalah masalah yang nomor satu pentingnya bagi revolusi”. (Pilihan Karja Mao Tjetung, djilid I, Pustaka Bahasa Asing, Peking 1957, hal. 13). Sampai sekarang, sulitnya menggalang persatuan dan terjadinya perpecahan-perpecahan dalam barisan kaum kiri, pada pokoknya disebabkan oleh tidak dicengkamnya ajaran Mao Zedong ini. Tidak jelas mengenai kawan dan lawan. Saling menyalahkan, dan gampang menjadikan perbedaan antara kawan jadi perbedaan dengan lawan. Kawan dirobah jadi lawan, kekuatan kian tercerai berai, musuh kian bertambah banyak. Oleh karena itu, memahami
ungkapan Pak Soemarsono ini adalah sangat penting.

Mengenai Otokritik Politbiro (OKPB) Pak Soemarsono menulis, bahwa OKPB dibuat di Indonesia sendiri. Sebagian dari bahan OKPB diambil dari kritik kami, yaitu dari Sidartojo, Ismail Bakri, Soemarsono. Mereka yang tampil di depan.Lalu ada Achmad Sumadi, Tjoo Tik Tjoen, Djokosoedjono juga ikut. OKPB dilakukan sesudah Peristiwa 30 September 1965, tetapi sebelum pecah G30S telah muncul kritik-kritik cukup panjang lebar waktu itu. Sidartojo yang menyusun kritik kami ….Bidang ideologi, moral dan teori. Bidang organisasi termasuk demokrasi sentralisme. Lalu juga tesis: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia – MIRI, Partai Kader dan Partai Massa Sekaligus, MKTBP. Semua dikritik. Jadi OKPB bukan disusun di Peking. Itu disimpulkan oleh Soedisman dan sebagian dari kritik kami” (Halaman 312).

Dalam bukunya ini, Pak Soemarsono membeberkan banyak hal penting menyangkut PKI, termasuk masalah pengkhianatan-pengkhianatan, kritik-kritik yang tajam terhadap sikap DN Aidit setelah jadi pemimpin tetapi pujian tinggi baginya sebagai seorang pejuang, hingga Pak Soemarsono siap mengusulkan DN Aidit menjadi Ketua Partai pada saat membangun kembali Partai sesudah Peristiwa Madiun, perbedaan pendapatnya dengan Pak Alimin, masalah pemahaman dari titik menjadi bidang, yaitu pemahaman ibaratkan sepercik bunga api yang bisa membakar padang lalang yang luas, gerakan massa yang meluas itulah yang mencerminkan gerakan rakyat dari bawah, tentang masalah jalan yang harus ditempuh untuk membangun kembali PKI dengan mengutamakan pembangunan ideologi, tentang masalah sentralisme demokratis, tentang perbedaan dengan Hasan Raid mengenai Peristiwa Madiun, tentang lijst Stikker – daftar orang-orang yang harus dibasmi termasuk Soemarsono……..dan banyak lainnya.

Kritik-kritik Pak Soemarsono terhadap pimpinan PKI ini tajam-tajam, buka kulit tampak isi. Tapi semuanya ini adalah dalam sikap dan pendirian demi membela PKI.

*******




(Bersambung)

24 Februari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog