Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

24 Oktober 2009

RESENSI BUKU

SUAR SUROSO:

IBARRURI PUTRI ALAM

HASTA MITRA berjasa lagi dengan menerbitkan buku IBARRURI PUTRI ALAM -- Putri Sulung D.N.Aidit. Dan Pak Joesoef Ishak serta Goenawan Mohamad menambah bobot buku ini dengan memberi Kata-Kata Pengantar.

Iba menulis otobiografinya secara “apa adanya”. Yang dipaparkannya adalah kisah hidupnya selama rentang waktu paroh kedua abad ke-XX dan tahun-tahun pertama abad ke-XXI. Saya terharu dan kagum akan penulisan Iba yang berdasarkan ingatannya itu. Sebab, sosok-sosok yang diungkapkannya adalah saya kenal secara pribadi. Mulai dari Bapa dan Ibunya, Paman-pamannya Murad suami isteri, Sobron suami isteri dan Asahan serta Akbar Mudigdio. Juga pribadi-pribadi lainnya seperti Bung Eska, Mbah Ramidjo, Bung Anwar Dharma, Pak Umar, Mas Bud (Budhiman Sudharsono), Warok, Eko Darminto, Tomas Sinuraya serta isteri, Drugov A.Y., Olga Cyecyotkina, Yakovliyev, komandan kompi wanita Birma A Miao, semua saya kenal baik. Dan peristiwa-peristiwa besar yang dilukiskannya, termasuk yang juga saya alami. Iba dan Ilya saya kenal semenjak mereka baru datang di Moskow.

Masa hidup Iba yang dipaparkan dalam roman biografis itu adalah mulai dari usainya Perang Dunia ke-II. Berlanjut dengan gelora pancaroba susul menyusul menimpa dunia. Dunia dilanda Perang Dingin. Indonesia berlumuran darah dengan pembantaian atas kaum komunis dan Sukarnois, berlangsung penggulingan Bung Karno. Terpukulnya PKI di tanah air melahirkan kekisruhan dahsyat di kalangan komunis Indonesia di luarnegeri. Berlangsung kontradiksi bahkan konflik antara Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis Tiongkok, kontradiksi paling hebat dalam sejarah gerakan komunis internasional. Vietnam dipanggang perang dengan seperempat juta pasukan Amerika dikerahkan membasmi komunis Vietnam. Tak kurang dari 23.000 pemuda Amerika korban dan lebih dari 2000 pesawat terbang AS musnah ditembak jatuh atau dihancurkan. Di Eropa, Tembok Berlin dirobohkan. Disusul bendera merah berpalu-arit dikerek turun dari puncak istana Kremlin. URSS lenyap dari peta politik dunia. Negara-negara sosialis Eropa Timur dan Tengah brantakan. Di Tiongkok bergelora Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Dalam masa yang penuh pergolakan inilah Iba hidup. Biografinya berselimut pencerminan suasana pergolakan ini. Iba bukan hanya pemantau pasif. Dia terlibat dan ikut merasakan akibatnya.

Itulah keistimewaan roman biografis ini. Iba menulis “apa adanya”. Tulisannya berbobot. Sebagai orang muda, romantikanya tidaklah cengeng. Tapi berbenang merah patriotisme. Cinta tanah air yang tak terbatas. Sekian dasawarsa terlunta-lunta diluar negeri, sampai akhirnya memegang paspor Perancis, tapi Iba tetap mengaku bangsa Indonesia, merindukan tanah-air, kampung halaman tercinta. Iba merindukan budaya bangsanya. Secara pengenalannya, Iba membandingkan peradaban Jawa, peradaban bangsanya dengan peradaban Barat. Kesempatan Iba mengenal Budhisme tidaklah melenyapkan pandangan materialisme yang dianutnya. Ini dibuktikan dengan analisanya terhadap keadaan sekarang dan masa depan Indonesia. Dengan tajam dan penuh perasaan Iba menulis: bangsa kita – bangsa yang begitu ramah, jenaka, murah senyum dan lapang dada, berhati lembut, dan yang kadang bersifat lugu, tapi cukup cerdas, berjiwa kreatif dan berani …. oh, bangsa yang pernah memiliki jiwa besar penakluk samudra, yang pernah dengan bangga memproklamasikan kemerdekaannya ke seluruh dunia serta berani membelanya sampai titik darah penghabisan – aku tak percaya bangsa sedemikian ini akan terus-menerus membiarkan dirinya dihimpit beban-beban masa lalu, membiarkan bathinnya terkoyak-koyak…

Optimisme Iba tak hanya menyangkut masa depan bangsanya, Indonesia. Terhadap generasi muda yang sudah menjadi korban pembodohan jahiliyah yang dibina rezim orba, Iba mencatat bahwa betapapun mereka selama ini dikungkung, tetap mencari-cari ilmu pegangan demi perobahan sosial di Indonesia. Generasi muda Indonesia akan tampil dan maju membela Indonesia.

Membantah tuduhan bahwa PKI atheis, anti Tuhan dan anti agama, Iba menulis: “Orang-orang PKI, sepengetahuanku, terlalu sibuk, terlalu banyak urusan: melawan nekolim, memperjuangkan pembebasan Irian Jaya, melaksanakan UUPA/UUPBH, melakukan pendidikan dari mulai pembrantasan buta-huruf sampai membangun Universitas Rakyat, membangun penerbitan buku-buku marxis yang dianggap sangat kurang, urusan menyelenggarakan koran partai, masih harus melakukan pekerjaan sampai ke bawah-bawah dari mengurusi kehidupan sampai masalah kesehatan, olahraga, dari peningkatan produksi sampai kenaikan gaji (di kalangan kaum tani, buruh, nelayan) mengangkat dan mengembangkan kebudayaan serta kesenian rakyat .. Kalau kita sekarang melihat dan membaca barang-barang langka seperti dokumen-dokumen PKI ketika itu, pidato-pidato wakil-wakil partai di kongres-kongres partai, musuhnya PKI itu memang tidak sedikit, bahkan mungkin memang terlalu banyak. PKI ketika itu adalah sebuah partai politik yang sangat galak, semua mau di”ganyang”; olde-lah, nekolim-lah, Belanda-lah yang masih bercokol di Irian Jaya, Tengku Abdurrahman-lah yang menjadi antek nekolim, kapiotalis birokrat yang mencaplok hasil nasionalisasi yang dilakukan kaum buruh, OKB-OKB-lah (orang kaya baru), tuantanah yang anti-manipolis, tengkulak-lah, lintah darat, tukang ijon, bahkan sampai ke tikus-tikus dan hama-hama di pedesaan mau diganyang…. Tapi dalam “keserba-galakannya” itu, tunjukkanlah satu saja ucapan pemimpin PKI atau satu saja dokumen PKI yang mau “mengganyang” atau katakanlah mencela agama atau Tuhan”.

Iba tak ragu-ragu mengungkapkan segi-segi gelap sejarah Uni Sovyet. Walau pun itu bersumber dari mulut orang yang anti-Sovyet. Juga tak ragu-ragu memaparkan suka-duka dalam kehidupan selama di Uni Sovyet, termasuk sikap-sikap tak bersahabat dari sementara pejabat PKUS terhadap PKI. Tak ragu-ragu bahkan dengan tajam memaparkan suka-duka dalam kekisruhan yang menimpa orang-orang komunis Indonesia di luar negeri.

Sebaliknya, Iba mengangkat pujiannya terhadap sikap ramah dan bersahabat pemimpin-pemimpin Tiongkok terhadap PKI. Iba melukiskan sambutan hangat berupa undangan makan dari Deng Yingzhao isteri PM Zhou Enlai, pertemuan dengan Mao Zedong, juga dimuatnya sajak Mao Zedong, menyatakan belasungkawa atas wafatnya D.N.Aidit berjudul: BELASUNGKAWA BUAT KAWAN AIDIT, PEJUANG KOMUNISME INTERNASIONAL. Iba kagum akan kemajuan ilmu kedokteran Tiongkok.

Tak ada gading yang tak retak. Betapa pun baiknya isi roman biografis Iba ini, tentu juga ada kekurangannya. Sayang, Iba tak mengungkap segi-segi unggul kejayaan Uni Sovyet, dan sikap-saikap bersahabat rakyat Sovyet terhadap rakyat Indonesia yang semestinya juga dia kenal.


*********


2-11-2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog