Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

23 Oktober 2009

RESENSI BUKU

Suar Suroso:

MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO

REVOLUSI AGUSTUS
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah

(3)


III. Tentang kaum sosial demokrat dan Trotskis dalam revolusi Indonesia.

Pak Soemarsono mengenal baik banyak tokoh nasional dalam revolusi Indonesia. Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya. Walaupun mengkritiknya karena pernah menyuarakan politik Hatta dalam Peristiwa Madiun, Pak Soemarsono memuji Bung Karno sebagai negarawan bijaksana dalam kembali melegalkan PKI. Bahkan sampai akhir hayatnya, Bung Karno tetap setia dengan ajarannya Nasakom dan tak mau membubarkan PKI. Tri-sakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan dinilai sangat tinggi. Dan dinyatakan sebagai satu-satunya senjata yang harus dijunjung, demi menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat kekuasaan rezim orba sekian dasawarsa.

Pak Soemarsono juga mengenal dekat Hatta, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifuddin. Sebagai anggota PKI illegal, kegiatannya jalin berjalin dengan banyak kelompok yang menganut berbagai aliran, terutama aliran sosial demokrat dan Trotskis. Boleh dikatakan, semua tokoh pejuang kemerdekaan nasional Indonesia mendambakan sosialisme. Mulai dari Pak H.O.S.Tjokroaminoto, Haji Agussalim, Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin, Bung Karno, Bung Hatta sampai-sampai Ruslan Abdulgani. Mempelajari sosialisme sebagai ilmu jadi berkembang dengan terbentuknya PKI yang menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi pembimbing. Tapi sosialisme menjadi tabu di bawah kekuasaan rezim orba. Dengan putusan MPRS No XXV tahun 1966, Marxisme dan PKI dinyatakan terlarang di seluruh Indonesia. Bahkan seluruh pimpinan PKI bersama dua juta anggota dan simpatisannya dibantai atau dipenjarakan tanpa liwat pengadilan. Ini terjadi pada saat Perang Dingin yang dikobarkan Amerika untuk membendung komunisme melanda dunia termasuk Indonesia. Perang Dingin membenarkan tindakan orba membasmi kaum kiri, melarang penyebaran Marxisme, melarang PKI. Rontoknya negara-negara sosialis Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Timur membikin burjuasi Indonesia yang komunisto-fobi bergendang paha. Generasi muda Indonesia menjadi buta akan ilmu sosialisme, bahkan menganggap sosialisme sebagai sesuatunya yang tabu.

Lengsernya diktator Suharto dan terjadinya krisis moneter dunia kapitalis membuka mata orang kembali. Orang mulai berpaling lagi kepada sosialisme. Generasi muda mulai mencari-cari ilmu sosialisme. Berkali-kali Pak Soemarsono mengemukakan, bahwa kebebasan untuk mempelajari sosialisme sebagai ilmu dan bebasnya gerakan untuk sosialisme di Indonesia hanya mungkin jika putusan MPRS No XXV 1966 itu dicabut.
Sesudah sekian dasawarsa sosialisme diharamkan di Indonesia, dengan perkembangan baru di dunia, maka berkecamuklah semua warna sosialisme yang ada di dunia. Dalam bukunya, Pak Soemarsono mengedepankan, bahwa dalam sejarah sampai sekarang terdapat tiga macam aliran sosialisme. Aliran sosial-demokrat, komunisme dan aliran Trotskis. Tak ayal lagi, dalam revolusi Indonesia terdapat ketiga aliran ini.

Dipaparkannya, bahwa Sjahrir sebagai tokoh sosial demokrat adalah semenjak berada di Eropa sudah anti-komunis. Menurut Sjahrir, pandangannya mengenai sosialisme adalah mengikuti Marx, tapi tidak menerima Leninisme. Sjahrir menentang diktatur proletariat, menentang negara Uni Sovyet. Mengenai imbangan kekuatan internasional, Sjahrir menyamakan Amerika Serikat dengan Uni Sovyet. Dan ingin membangun kekuatan ketiga. Dalam praktek, Sjahrir mengutamakan jalan diplomasi memenangkan kemerdekaan Indonesia. Liwat perundingan dengan Belanda mau mendapatkan kedaulatan. Maka di bawah pemerintahan Sjahrir terjadilah persetujuan Linggarjati. Dalam perkembangannya, politiknya jadi berseberangan dengan PKI. Maka Sjahrir mendirikan PSI, memisahkan diri dari Partai Sosialis yang dipimpin Bung Amir. Sebagai anggota Internasionale Sosialis yang anti-komunis, PSI dengan tangguh menentang kerjasama dengan PKI. Dalam sidang-sidang Konstituante yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Negara, PSI menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Kemudian bersama Masjumi menjadi kekuatan penyangga pemberontakan PRRI – Permesta, menentang Pemerintah Pusat, mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Dengan tangguh menentang Nasakom, para tokoh PSI berlanjut menjadi salah satu kekuatan pokok mendukung rezim orba dibawah Soeharto.

Pak Soemarsono mengungkapkan pengalamannya dengan kaum Trotskis, pengenalannya pribadi tentang Tan Malaka. Dalam sejarah PKI, Tan Malaka dinyatakan melanggar disiplin Partai karena menentang putusan mengenai pemberontakan tahun 1926. Karena itu dipecat dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di luarnegeri. Kemudian bekerjasama dengan kekuasaan fasis Jepang dan mendirikan Partai Murba. Sesudah RI diproklamirkan, berbagai usaha berlangsung untuk menampilkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai Presiden. Dalam buku Pak Soemarsono dipaparkan peranan kaum Trotskis dalam peristiwa 3 Juli 1946. Inilah peristiwa penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan pengajuan tuntutan untuk mengganti pemerintah dengan menampilkan Tan Malaka. Usaha perebutan kekuasaan ini dapat dipatahkan. Tan Malaka dan sejumlah pendukungnya diadili dan dipenjarakan. Agustus 1948 Pemerintah Hatta membebaskan Tan Malaka dan para pendudukungnya dari penjara. Menjelang meningkatnya konflik-konflik bersenjata, surat kabar Murba aktif mempropagandakan dokumen palsu yang memfitnah FDR akan melakukan perebutan kekuasaan. Pimpinan FDR melaporkan pada pemerintah untuk menindak pemalsuan dokumen FDR itu.

Pak Soemarsono menulis: “Anarkis dengan Trotskis itu adalah saudara sekandung. Kaum anarkis adakalanya seperti kaum nihilis. Tanpa arah, tanpa strategi, tanpa taktik. Hanya menurutkan nafsu amarah. Jalan berpikirnya seperti terobrak-abrik. Mereka adakalanya mengeluarkan teori-teori ‘sosialisme’, adakalanya mendirikan partai kelas buruh, juga mengandalkan kelas buruh, adakalanya agak melecehkan kaum tani. Pada umumnya kaum Trotskis tidak mendasarkan pada kekuatan massa, tapi mengandalkan jago perseorangan yang tampaknya berani, tetapi tanpa perhitungan. Tidak seperti Partai Komunis yang mengorganisasi massa, mengorganisasi buruh, mengorganisasi tani, dan kolektif dan disiplinnya kuat. Disiplin kaum Trotskis longgar, hampir tidak punya disiplin. Saya pernah bersama mereka. Saya melihat, mereka orang per orang tampak jago-jago. Seperti Tan Malaka, sampai mempunyai dubbelganger. Maksudnya, risiko diterima oleh orang yang seperti atau yang menyamar seperti Tan Malaka – tapi bukan Tan Malaka sendiri” (halaman 332).

Sejarah Indonesia mencatat, bahwa penganut aliran Trotskis dengan tokohnya Tan Malaka adalah kekuatan penentang politik Bung Karno. Dalam sidang-sidang Konstituante wakil Partai Murba menentang Pancasila dijadikan dasar negara. Dengan tangguh menentang Nasakom ajaran Bung Karno. Tidak menentang pemberontakan PRRI-Permesta, hingga Partai Murba dibubarkan. Mengenai Tan Malaka Pak Soemarsono menulis: “Saya bertemu Tan Malaka di Solo, sesudah ada Persatuan Perjuangan. Saya anggap Tan Malaka orang kiri. Tapi kenapa dia bersatu dengan Masyumi, dengan yang anti-kiri, anti-komunis ? Masyumi itu lahir waktu zaman penjajahan Jepang dan tidak bisa disanggah lagi bahwa Masyumi anti-kiri. Mengapa dia dengan Masyumi bisa memusuhi PKI. Pada hal Tan Malaka tahu persis bahwa PKI adalah Partai politik kiri. Secara pribadi, katakanlah ada pertentangan antara Pak Musso dan Tan Malaka, tetapi dalam konsep ‘Kemerdekaan yang seratus persen’ mereka adalah sama” (halaman 333). Anti PKI dan anti-komunis yang menjadi ciri aliran Trotskis Indonesia itu mencapai puncaknya dengan tokohnya jadi pendukung utama rezim fasis orba, sampai menjabat kedudukan Wakil Presiden RI.

Adanya aliran Trotskis bukanlah fenomena khusus Indonesia. Di banyak negeri terdapat aliran ini, dan bahkan secara internasional terdapat Internasionale Trotskis, yaitu Internasionale ke-IV yang giat mengkampanyekan teori Trotski, teori revolusi permanen. Jaringan internet WSWS yang mengabdi pada Internasionale ke-IV, sangat aktif mengkampanyekan teori revolusi permanen Trotski ini. Partai-Partai komunis yang tak sehaluan dengan aliran Trotskis dituding sebagai dikuasai oleh kaum Stalinis. Partai-Partai yang dituduh dipimpin oleh kaum Stalinis adalah Partai Komunis Kuba, Partai Pekerja Korea, Partai Komunis Tiongkok, PKI, Partai Komunis Nepal (Maois) dan lain-lain. Bahkan terpukulnya PKI akibat peristiwa G30S dinyatakan mereka disebabkan oleh kesalahan pimpinan PKI yang Stalinis.


*******

(Bersambung)

24-2-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog