Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.

23 Oktober 2009

RESENSI BUKU

Suar Suroso:



MENYAMBUT BUKU PAK SOEMARSONO



REVOLUSI AGUSTUS

Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.



(2)





II. Bukan pemberontakan, tapi pembasmian kaum kiri.



Pak Soemarsono menulis, bahwa Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan. Peristiwa itu didahului oleh berbagai usaha menyingkirkan kekuatan kiri dari pemerintahan. Jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin adalah karena Masjumi menarik Menteri-Menterinya dengan alasan menentang persetujuan Renville. Menggantikan Amir, Hatta menjadi Perdana Menteri dengan kabinet bertulang punggung Masjumi. Program kabinet Hatta justru melaksanakan Persetujuan Renville. Dan menjalankan Program Rekonstruksi dan Rasionalisasi. Pelaksanaan Rasionalisasi adalah membersihkan Angkatan Bersenjata dari kekuatan kiri. Inilah realisasi Red Drive Proposals yang dilahirkan dari pertemuan rahasia Sarangan. Pelaksanaan program Rasionalisasi menimbulkan ketegangan dalam angkatan bersenjata. Timbul konflik antara yang pro dan yang menentang. Terjadi berbagai demonstrasi yang diikuti pasukan yang menentang Rasionalisasi. Ketegangan-ketegangan berlanjut dengan terjadinya pembunuhan dan penculikan atas perwira-perwira penentang Rasionalisasi. Terbukti, bahwa penculikan-penculikan dilakukan oleh pasukan pemerintah, karena yang diculik itu dimasukkan dalam rumah tahanan pemerintah. Peristiwa ini berkembang menjadi konflik bersenjata di Solo. Walaupun ada usaha PKI melokalisasinya, konflik menjalar sampai Madiun.



Dengan jelas buku ini memaparkan perkembangan situasi di Madiun. “Waktu saya berjumpa dengan Pak Musso dan Amir di Kediri, saya kemukakan situasi di Madiun.” “Pak Musso dan Amir sesudah membicarakan situasi, mendiskusikan dengan saya, lalu mengatakan: Ya, kita harus tegas, jangan sampai di Madiun ini terjadi seperti yang di Solo, kata Pak Musso. Lha, kalau nanti komandan-komandan batalyon diculiki berabe kita ini. Jadi bagaimana ? tanya saya. Bertindak ! Lucuti saja pasukan yang menculik itu ! jawab mereka berdua”. Pasukan penculik yang pakai tanda tengkorak manusia itu pun dilucuti. Peristiwa culik menculik ini dilaporkan kepada Pemerintah Pusat Jogjakarta, dengan meminta instruksi selanjutnya. Dengan persetujuan Komandan Teritorial, wakil walikota Madiun Supardi melapor atas nama Residen ke pemerintah Yogya. Bunyi telegram Pejabat Residen Supardi: “Di Madiun terjadi perlucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig. Berhubung dengan kepergiannya kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintah daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul” (halaman 130).



Bukannya petunjuk dari Pemerintah Pusat yang diterima, tapi pedato Perdana Menteri Hatta di depan sidang Badan Pekerja KNIP menyatakan “Ya, menurut laporan di Madiun terjadi pemberontakan, entah benar entah tidak….bahwa diumumkan negara Uni Soviet dengan mungkin Musso Presidennya dan Perdana Menterinya Amir Sjarifuddin” (halaman 138). Bung Karno dalam pedato radionya 19 September 1948 juga menyatakan: “Di Madiun terjadi kup Pemerintah Soviet, Musso mendirikan Pemerintah Soviet di Madiun”…. Pada hal Pak Musso waktu itu sedang keliling daerah dan berada di luar daerah Madiun dan memang tidak tahu menahu masalah pemerintah itu” (halaman 139).



22 September overste Suharto, yang sesudah peristiwa G30S menjadi Presiden RI, datang ke Madiun sebagai utusan Panglima Besar Sudirman. Dia menyaksikan, bahwa di Madiun tidak terjadi pemberontakan. Suharto mengeluarkan pernyataan: “Keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana yang disiar-siarkan oleh suratkabar-suratkabar di Yogyakarta. Di Madiun tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera palu-arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal” Pernyataan ini disiarkan oleh suratkabar daerah Suara Rakyat Madiun, dan disiarkan di radio Gelora Pemuda Daerah Madiun” (halaman 150). Amir Sjarifuddin menitip surat agar disampaikan Suharto kepada Presiden Sukarno. “Bung Amir menulis surat kepada Presiden Soekarno sekali pun Presiden sudah berpidato supaya membasmi ‘pengacau’. Tetapi karena merasa Bung Karno itu atasannya atau pimpinannya, maka Bung Amir menulis supaya Bung Karno turun tangan untuk mendamaikan situasi. Bung Amir menulis sendiri surat itu” (halaman 151).



Dengan pernyataan Perdana Menteri Hatta dan seruan pembasmian dalam pedato Presiden Sukarno, berlangsunglah pembasmian atas kaum kiri di Madiun. Tak ada jalan lain, kaum kiri harus melakukan bela diri. Berkali-kali Sumarsono menyatakan bahwa yang terjadi bukanlah pemberontakan, tapi perjuangan membela diri dari usaha pembasmian. Puncaknya terbunuh lah Musso dalam suatu pertempuran, dan dihukum tembak-matinya tanpa liwat pengadilan mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Duta Besar luarbiasa Suripno, Ketua CC PKI Sardjono, ketua SOBSI Haryono dan lain-lain di Ngalian pada 19 Desember 1948. Akibat pengejaran dan pembasmian dengan pengerahan pasukan pemerintah adalah terbasminya seluruh pimpinan utama PKI, dan puluhan ribu kader serta anggota PKI dan kaum kiri lainnya. “Membunuhi orang-orang yang anti penjajah, terutama orang-orang komunis itulah pelaksanaan Pertemuan Rahasia di Sarangan ! Itulah hakekat Peristiwa Madiun yang sebenarnya” (halaman 231).



Inilah realisasi the policy of containment, realisasi Doktrin Truman di Asia. Mendahului pembasmian kaum komunis di Asia Timur dengan Perang Korea dan di Asia Tenggara dengan Perang Vietnam, maka dengan Peristiwa Madiun, Indonesia adalah negeri pertama dilanda Perang Dingin di Asia.



******



(Bersambung)



23-2-2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog