VI. Kabinet Hatta Dan Rasionalisasi Angkatan Bersenjata.
Dengan mundurnya Amir Sjarifoeddin 23 Januari 1948, terbentuklah kabinet Hatta yang bertulangpunggung tokoh-tokoh Masjoemi: Soekiman, Natsir. Inilah Pemerintah pertama semenjak meletusnya Revolusi Agustus tanpa ikutnya wakil kaum kiri. Masjoemi menarik diri dari kabinet Amir karena menentang Persetujuan Renville, masuk kabinet Hatta dengan program melaksanakan persetujuan Renville.
26 Januari 1948 terbentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia (PBI), Pesindo, SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih sebagai salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet Hatta yang presidentil diubah menjadi kabinet parlementer. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.
12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri” dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dalam Peraturan Dasarnya pasal 1 tercantum: Asas Tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap-tiap manusia orang-seorang. Penghargaan pada pribadi orang-seorang di dalam pikiran serta di dalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engels dsb. Sosialisme semestinya tidaklah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan” 1). (Dasar … PSI 1948: pasal 9). Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu fondasi ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, melainkan adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, akan tetapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia, melancarkan Perang Dingin di Asia. Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prinsip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah-belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”. Dengan demikian, tulang-punggung dan yang mendukung kabinet Hatta adalah Masjoemi dan PSI yang sadar dan tegas anti-komunis.
Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional. Perang Dingin telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa Barat. Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai Sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan tengah”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform – Badan Kerjasama Partai-Partai Komunis Di Bidang Informasi --, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Kominform terkenal dengan publikasi periodiknya dalam berbagai bahasa berjudul For a Lasting Peace and Peoples Democracy. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform, karena menempuh jalan “tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika”. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Sikap yang serupa dari kaum sosialis terhadap Uni Sovyet dan Amerika terdapat pula di Indonesia dengan lahirnya PSI di bawah pimpinan Sjahrir.
Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis hingga kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berubah, dan memuncak mencapai tahap perpecahan semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI memang sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”-nya di Indonesia. Ini mempunyai jangkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.
Pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk: 1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer. 2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS. Terjadi perlawanan dalam kekuatan bersenjata menentang program Rasionalisasi ini. Sesungguhnya, mengenai rasionalisasi, 20 Desember 1947 BP KNIP sudah menerima resolusi Z. Baharuddin yang isinya “mendesak supaya dengan undang-undang, Angkatan Perang RI direorganisasi sehingga terlaksana rasionalisasi dalam kalangan kesatuan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; terlaksana rasionalisasi dalam komando dan pimpinan Angkatan Perang”. (Pramoedya ……Kamil, 2001: 419).
Bersamaan waktu dengan keluarnya rencana Rasionalisasi Angkatan Bersenjata, pertengahan Februari 1948, dengan membawa 22.000 prajurit, kolonel A.H.Nasution datang di Yogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perubahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta. Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi. Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, diubah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur ofensif. Dengan demikian, TNI Laskar Rakyat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi.
Disamping Nasution, Tahi Bonar Simatupang adalah “perwira TNI yang berjasa dan bahkan memegang peran utama dalam pembuatan konsep Re-organisasi dan Rasionalisasi TNI pada tahun 1947” (Sayidiman Suryohadiprodjo 1990: 53). T.B.Simatupang adalah perwira yang sadar anti-komunis, sejak semula telah berbeda dengan Bung Karno mengenai gagasan tentang Angkatan Bersenjata. Dari memperhatikan perkembangan perjuangan rakyat Tiongkok dan Amerika Latin, Simatupang menunjukkan sikap anti-komunisnya. Dia khawatir, kemenangan komunisme seperti di Tiongkok juga terjadi di Indonesia. Dia sangat mengutamakan masalah fikiran pembimbing para prajurit. Menurut pemahaman Simatupang, “yang terjadi di Cina adalah instabilitas yang berkepanjangan yang akhirnya Partai Komunis mengalahkan partai Kuomintang, dan komunisme mengganti San Min Chu I.” Oleh sebab itu dia bertekad “untuk mencegah terulangnya di Indonesia pengalaman di daratan Cina yang membawa kekalahan Kuomintang terhadap Kun Chan Tang. Jalan satu-satunya ialah secepat-cepatnya mengadakan reorganisasi dan pendidikan ulang terhadap tentara yang telah lahir dalam suasana perang rakyat. Untuk meningkatkan professionalisme pasukan, Simatupang ingin bergantung pada pendidikan dari Misi Militer Belanda”. (Simatupang, Tahi Bonar 1991: 157-158). Dengan demikian arah dan tujuan pelaksanaan program rasionalisasi dan rekonstruksi Angkatan Bersenjata dikendalikan oleh perwira yang berfikiran anti-komunis.
Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan. Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri-hati antar-pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dianggap sebagai pasukan kelas dua. Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, guna pembentukan satu Tentara Federal yang baru.
4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Timbullah protes keras dari kalangan kesatuan bersenjata. Pada 1 Juni 1948 sebanyak tigapuluh Komandan Batalyon menemui Presiden untuk mengajukan tuntutan pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, bersama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya dalam rasionalisasi. Rasionalisasi kemudian bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari pihak Belanda. (Reid, Anthony 1974: 135).
Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan di mana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan Penetapan Presiden nomor 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.
Belanda tahu dan sadar, bahwa bagi Amerika masalah penting dalam menghadapi Indonesia adalah membendung komunisme. “11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jendral Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN”. (Cheong Ying Mun: 147). Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di Republik Indonesia belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini. “Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol”. (Cheong Ying Mun: 147)
Sejalan dengan ofensif Perang Dingin yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat; Amerika Serikat memperkuat diplomatnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment” di Asia. Amerika Serikat mengganti wakilnya dalam KTN dengan Merle Cochran. Disamping itu, Gerald Hopkins, penasihat urusan politik luarnegeri dari Presiden Truman, John Coast, Campbell dan 5 “diplomat” lainnya dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Yogyakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah bahaya komunis dan aksi-aksi subversi” (Morrien, Joop 1982: 145). Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah guna mengatasi kian meluasnya pengaruh URSS di Indonesia.
20 Mei 1948, FDR bersama Masjoemi dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini diteruskan dengan usaha bersama untuk menyusun suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiadjit (PBI), M.Saleh Soehaidi (Masjoemi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr A.M. Tambunan sebagai Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”. Tugas Panitia selesai pada 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan: “industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”. Dan “dalam Program Nasional terdapat rumusan penolakan atas rencana Rasionalisi Kabinet Hatta”. (Reid, Anthony: 1974: 135).
Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, memenuhi instruksi Presiden Sukarno pada Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut pengakuan de jure Indonesia yang masih berada dalam status sengketa. Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri secara bebas.
26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam praktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campurtangan langsung menengahi pertikaian Indonesia – Belanda. Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang.
Dalam keadaan Van Mook belum diijinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya di bawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh jalan berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta.
4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook secara informal, akan tetapi pembicaraan di bawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta. Dalam pertemuan pada 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi persetujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Sovyet dan pemerintah komunis lainnya.
10 Juni 1948, Critchley wakil Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, di mana ditetapkan antara lain: nahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara; bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll. (Derita S.P.: 5 Minggu Sebelum Madiun Affair, Penerbitan Sarkawi, Medan). 16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informal antara Hatta dan Van Mook. (Lukisan Revolusi; 363). 17 Juni 1948 Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa usul Australia-Amerika dianggap oleh Pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik” (Harian Nasional 1948: 18 Juni).
2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol. (Harian Nasional 1948: 6 Juli). “Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh nomor satu”. 14) (Roger Vaillant 1951: 159; Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, hal 6).
Tak lama sesudah terbentuknya, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye menyerukan terbentuknya suatu pemerintah front nasional dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan menggunakan jasa pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian Murba, Solo. Dalam selebaran palsu ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta, maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk segera diusut dan diadili. Akan tetapi pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak menindak-lanjuti pengaduan itu. Dokumen FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Yogyakarta, Juli 1948. (Departemen …. PKI 1954: 5).
Pemalsuan dokumen FDR berlangsung dengan tujuan untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, surat kabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa akan dilakukan aksi-aksi: “a. Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi. b. Mengadakan pemogokan-pemogokan. c. Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan. d. Perampasan kekuasaan” (Wellem, Frederick Djara 1964: 228). Dokumen palsu inilah yang digunakan dasar suatu alasan Perdana Menteri Hatta; dalam pidatonya di depan Badan Pekerja KNIP pada 20 September 1948, menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar yang terbit di Yogya ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada pihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.
Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis di Indonesia”. Kementerian Luarnegeri Inggris seperti mendesak Pemerintah Belanda “supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda supaya melancarkan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Seballknya, jika tercapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di pihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.” (Cheong Ying Mun: 181). “Di mata penguasa Inggris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis merupakan suatu peluang untuk mendesak Belanda agar segera mencapai persetujuan dengan Indonesia”..(Cheong Ying Mun; 181). “Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”.. (Cheong Ying Mun; 181) Di kalangan penguasa Inggris dan Amerika telah matang dalam pikiran mengenai perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.
Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi, karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Diselenggarakanlah “konferensi Sarangan, yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, Gerard Hopkins, penasihat urusan politik luarnegeri dari Presiden Truman, dan Merle Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”. 20). (Vaillant 1951: 154).
Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposals” (Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, akan tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Menyangkut urusan biaya untuk melaksanakan “Red Drive Proposala” yang sudah disetujui kedua belah pihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dolar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh para diplomat Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. (Bintang Merah 1951: 39-52). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjoemi selalu ditolak. Dan Masjoemi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.
“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Yogyakarta. Pemerintah mengirim R.Soekamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, pihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, akan tetapi ditolak oleh beliau. Kemudian beliau sekadar mengarahkan supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan terhadap orang-orang kiri saja.
Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamongpraja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di jaman Jepang.
3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR sendiri. Sutarto memang seorang perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta. Pertentangan di dalam kalangan kekuatan bersenjata kian meruncing, hal ini terjadi sebagai akibat program rasionalisasi Pemerintah Hatta. Divisi Siliwangi merupakan kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu.
Di tengah proses pergolakan politik dalam revolusi, terjadi pula polarisasi di kalangan kaum kiri yang semula bersatu-padu mendukung revolusi. Kembalinya para tokoh PKI perantau dari Australia dan negeri Belanda mempunyai arti penting sebagai kekuatan pendukung revolusi. Dari Australia, pokoknya berpulangan tokoh-tokoh PKI yang dulunya dibuang Belanda ke Boven Digul dengan tokoh terkemuka Sardjono, mantan Ketua PKI. Umumnya kembali bersatu dengan dan memperkuat PKI yang mulai tampil semenjak awal revolusi. Dari negeri Belanda berdatangan Abdulmadjid yang jadi tokoh Partai Sosialis. Setiadjit menjadi tokoh Partai Buruh Indonesia. Rustam Effendi mantan anggota PKI yang jadi anggota Parlemen Belanda kembali dengan meninggalkan PKI dan masuk Partai Rakyat yang berada di bawah pengaruh kalangan Tan Malaka. Perbedaan pendapat bermunculan dalam bersikap terhadap Naskah Linggarjati dan Persetujuan Renville. Para pendukung Tan Malaka dengan keras menentang Naskah Linggarajati dan Persetujuan Renville, menuntut perundingan “atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%”. Dan menentang FDR dengan menilainya sebagai alat kekuasaan asing, karena sangat mendukung persahabatan dengan Uni Sovyet. Berlangsung poiemik yang memaparkan perbedaan politik kalangan kaum kiri, terutama liwat harian Murba. Kalangan pendukung Tan Malaka mengambil sikap menentang Uni Sovyet, menentang FDR, menentang PKI dan mendukung Kabinet Hatta.
Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, dan atas insiatif Partai Buruh Merdeka, serta sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politik Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Karena FDR tangguh membela persahabatan dengan URSS, GRR menyerang FDR dengan menuduhnya sebagai alat kekuasaan asing. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin. Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perjuangan: Muhammad Yamin, mayor jendral Sudarsono, Achmad Soebardjo, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dlll. (Antara 1948: 17 Juni). Disamping kekuatan Masjoemi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti FDR bertambah lagi dengan golongan para pendukung Tan Malaka.
5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR. “Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak” (Bintang Merah, 1951: 42).
Kabinet Hatta sibuk melaksanakan program Rasionalisasi Angkatan bersenjata yang menimbulkan ketegangan. Amir Sjarifoeddin bersama kaum kiri lainnya telah tersingkir dari Pemerintah Indonesia. Konflik-konflik bersenjata antar pasukan kian bertambah banyak. Dalam situasi seperti itu, awal Agustus 1948 Musso pulang bersama Suripno.
******
Bungarampai ini berisi tulisan-tulisan, baik yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, mau pun yang belum atau tidak dibukukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2009
(110)
-
▼
Oktober
(109)
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- TERJEMAHAN
- EKONOMI DUNIA
- EKONOMI DUNIA
- RESENSI BUKU
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- RESENSI BUKU
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FIKSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- CATATAN FILSAFAT
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di SIA
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN,Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Rralisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN, Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- PERISTIWA MADIUN Realisasi Doktrin Truman Di Asia
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
- KUMPULAN SAJAK
-
▼
Oktober
(109)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar